Thursday, August 29, 2013

Sejarah Daerah di Sulut: Asal Usul Manado, Siau dan Sangihe Talaud

MEMAHAMI Sulut tak akan lepas dari keberadaan tiga wilayah budaya yang membentuk karakter masyarakatnya. Nasrun Sandiah, antropolog dari Universitas Sam Ratulangi, memilah ketiga wilayah budaya tersebut ke dalam tiga suku bangsa yang mendiami Kepulauan Sangihe dan Talaud, Bolaang Mongondow, dan Minahasa.

Dari ketiga wilayah budaya tersebut, masyarakat di Kepulauan Sangihe dan Talaud dan Bolaang Mongondow mempunyai akar sejarah yang panjang dalam bentukan kerajaan. Catatan sejarah menunjukkan, sebelum tahun 1500 Kerajaan Tabukan, Bohontehu, Kendahe, Tahuna, Manganitu, Siau, dan Tagulandang, tumbuh di sepanjang Kepulauan Sangihe dan Talaud.

Sementara di wilayah Bolaang Mongondow, terdapat Kerajaan Bolaan Uki, Kaidipang, Bintauna, Suwawa, dan Bone. ”Kerajaan-kerajaan di Bolaang Mongondow umumnya penganut Islam dan kerajaan di Sangihe dan Talaud penganut Kristen atau Katolik,” kata Nasrun.

Karakter khas yang melekat di wilayah-wilayah kerajaan juga tampak di kedua wilayah budaya ini. Sifat paternalis maupun kepatuhan yang kuat terhadap pemimpin, misalnya, menjadi karakter masyarakat. ”Kalau pemimpin itu bilang apa, itu akan sampai ke bawah,” ungkap Nasrun. Kondisi demikian tak terhindarkan munculnya pengkultusan terhadap pemimpin sebagaimana di Bolaang Mongondow. ”Bupati masih dikultuskan sampai saat ini,” imbuh Nasrun.

Berbeda di wilayah kerajaan, berbeda pula karakter di wilayah yang tidak dijumpai kerajaan. Minahasa dalam sejarahnya tidak pernah mengenal sistem kerajaan.

Masyarakat di kawasan ini terhimpun dalam walak yang merupakan sebuah komunitas sosial masyarakat tradisional terdiri atas kumpulan beberapa permukiman. Dengan tidak adanya raja atau pemimpin yang harus dihormati dan dianuti masyarakat, menurut Schouten dalam Leadership and Social Mobility in a South Asia Society: Minahasa 1677-1983, hubungan sosial masyarakat Minahasa umumnya didasarkan pada sikap kompetitif dan egaliter.

Cerita Mokodoludut dari orang Sangir yang ditulis oleh orang Amerika yang dipresentasikan di Universitas California oleh Kheneth, diterbitkan dalam tiga bahasa.

SEJARAH KERAJAAN BOWONTEHU
Pada tahun 800-san Masehi di Cotabato Mindanauw sekarang Filipina dahulu ada sebuah kerajaan suku bangsa negrito yang dipimpin oleh seorang Kulano(raja). Kerajaan ini diserang oleh suku bangsa Mongolia, akan tetapi seorang anak raja yang bernama Humansandulage beristeri Tendensehiwu berhasil meloloskan diri beserta para pengikutnya antara lain Batahasulu atau Manderesulu orang sakti kerajaan yang memeliki papehe(ikat pinggang dengan ukuran satu jengkal), lenso (saputangan), dan paporong (ikat kepala). Dengan melemparkan ikat pinggang berukuran satu jengkal kelaut yang kemudian menjelmah menjadi Dumalombang atau ular naga besar. Dumalombang membawa mereka ke Selatan lalu tiba di daerah Molibagu. Ditempat ini mereka berkabung sambil menangis selama empat puluh hari empat puluh malam. kemudian mereka berikhar menjadi suku bangsa yang baru yaitu Suku Bangsa Sangihe. Setelah masa perkabungan berakhir mereka hidup menetap dihutan yang terletak di sebuah puncak bukit lalu mendirikan sebuah kerajaan yang bernama Wowontehu/Bowontehu. Bowontehu berasal dari bahasa Sangihe yaitu Bowong artinya atas dan Kehu artinya hutan. Jadi Bowontehu adalah kerajaan yang terletak diatas hutan. Humansadulage sebagai Kulano (Datu/Raja) dan Tendensehiwu sebagai Boki (Permaisuri). Humassadulage dan Tendensehiwu memperanakan Budulangi. Budulangi bersiteri Putri Ting yang berasal dari khayangan. Budulangi dan Putri Ting memiliki seorang anak perempuan yang bernama Toumatiti. Toumatiti hamil dari seorang Pangeran yang datang dalam mimpinya, Maka lahirlah seorang putra diberi nama Mokodoludud. Mokodoludud yang artinya Pangeran dari khayangan. Mokodoludud menikah dengan Bania yang keluar dari buluh tipis kuning ditemukan dihutan oleh pasangan suami istri yaitu Sanaria dan Amaria lalu dipelihara.

Pada Suatu ketika Tahun 1000-an Masehi terjadi pergolakan perang disana-sini sehingga Mokodoludud beserta para pengikut yang setia meninggal Molibagu lalu tiba di Pasang Bentenan di baling-baling yaitu tempat yang bernama Posolo berada disebelah timur Malesung atau Minahasa sekarang disebut Lembe. Ditempat ini mereka tinggal tidak lama sebab diserang oleh Suku Mori, Laloda dan Mangindanouw. Mokodoludud dan rombongan mengungsi ke sebuah gunung dengan jalan mengintari (belitan) lalu tempat itu disebut Lokong. Baunia melahirkan seorang putra bagi Mokodoludud lalu diberi nama Lokonbanua. Kemudian Mokodoludud ingin mencari tempat seperti pasang bentenan lalu berangkat dan tiba di pulau Manarauw (Manado Tua). Kata Manarou berasal dari bahasa Sangir yaitu Mararau; Marau yang artinya Jauh.

Mokodoludud membangun kembali kerajaan Bowontehu dengan pusat pulau Manarouw dengan gelar Kulano. Di Manarouw ini Mokodoludud dan Baunia dikaruniai lagi anak yang bernama, Jayubangkai, Uringsangiang dan Sinangiang. Penduduk kerajaan ini berkembang bertambah banyak sehingga sebagian mendiami daerah bagian utara dataran pulau Sulawesi yaitu Gahenang/Mahenang nama kuno untuk Wenang berasal dari bahasa Sangir Tua yaitu artinya api yang menyala/bercahaya/bersinar(suluh, obor, api unggun). Perpindahan dilakukan dengan menggunakan perahu (Bininta), melalui tempat yang bernama Tumumpa berasal dari bahasa Sangir yang artinya turun sambil melompat,kemudian menetap di Singkil berasal dari bahasa sangir Singkile artinya pindah/menyingkir. Mereka menyebar sampai ke Pondol bahasa Sangir disebut Pondole artinya di ujung. Wilayah kerajaan Manarouw sesuai memori Padtbrugge disebut menurut nama asalnya meliputi : P. Manado Tua, P. Siladeng, P. Bunaken, P. Mantehage, P. Nain, P. Talise, P. Gangga, P. Bangka dan P. Lembeh serta daerah pesisir pulau Sulawesi. .***[Sumber tulisan: Buku karya Shinzo Hayase, Domingo M. Non, dan Alex J. Ulaen yang berjudul “SILSILAS/TARSILAS (GENEALOGIES) AND HISTORICAL NARRATIVES IN SARANGGANI BAY AND DAVAO GULF REGIONS, SOUTH MINDANAO, PHILIPPINES, AND SANGIHE-TALAUD ISLANDS, NORTH SULAWESI, INDONESIA” halaman 251-252]. Penduduk Kerajaan Bowontehu/Manarouw adalah orang sangir (Graafland, Minahasa masa lalu dan masa kini, terjemahan Joost Kulit).

Pada suatu ketika kembali Mokodoludud memerintahkan rakyatnya membuat perahu(Bininta), setelah selesai pembuatannya maka diuji kemampuan untuk mengapung, mendayung serta berlayar dari perahu. Kapal tersebut memuat putra-putri raja yaitu Lokonbanua, Uringsangiang, Sinangiang beserta Batahalawo, Manganguwi, Bikibiki, Banea dan Tungkela. Raja Mokodoludud berpesan kepada anak-anaknya agar selama dalam pelayaran tidak boleh mengeluarkan sepatah katapun, akan tetapi Sinangiang lupa ketika melihat sebuah pulau lalu bertanya pulau apakah itu ?. Maka tiba-tiba badai mengamuk sehingga terdampar di pulau Tagulandang, Siau dan Sangir. Ditempat ini Uringsangiang dan Sinangiang menangis terus menerus sehingga tempat ini disebut Sangihe yang bersasal dari kata Sangi, Sangitang, Masangi, Mahunsangi artinya menangis. Mereka hidup dan menetap ditempat ini, Lokonbanua menikah dengan Sinangiang.

Pada tahun 1380 seorang pedagang arab bernama Sharif Makdon setelah mengunjungi ternate lalu tiba di Manarouw(Manado Tua) menyebarkan Agama Islam kemudian berangkat ke Mindanouw. Kemudian jalur ini diikuti oleh pelaut asal Portugis Pedro Alfonso pada tahun 1511, Pedro Alfonso menemukan Ternate, setelah itu armada dagang asal Portugis secara resmi mengirimkan Antonio de Abreu ke Maluku tahun 1512. Pada tahun itu juga Portugis mengirimkan tiga kapal layar ke Manarouw,(Pulau Manado Tua).

Lokon Banua II (leken artinya nama yang diangkat kembali) adalah keturunan kesembilan dari Raja Mokodoludud Kulano(raja) Bowontehu. Berlayar dari Manarouw bersama dengan pengikutnya pergi ke pulau Siauw lalu mendirikan kerajaan Leken Banua II atau Karangetang pada tahun 1510. Lokongbanua II Keturunan ke 9 dari Raja Gumansalangi putra raja Tumondai dengan Boki Bitang Keramat kakak kandung pendiri Kiraha (Kedatuan ternate) dari Cotabato di Mindanauw Philipina Selatan Pendiri Kedatuan Tampung Lawo abad 12 serta cucu dari Datu Hinbawo I dari kerajaan Sulu beristrikan Sangiang nilighidé dan mempunyai anak perempuan, Umbongduata namanya. Umbongduata ini jadi salah satu isteri dari Datuk Pahawonsulugé, lalu mempunayai anak Lokongbanua II

Bangsa barat yang pertama-tama menemukan Manarouw ialah pelayar Portugis Simao d’Abreu pada tahun 1523.

Nama Manarow dicantumkan dalam peta dunia oleh ahli peta dunia, Nicolas_Desliens‚ pada 1541. Manarouw menjadi pintu gerbang transit kawasan timur Indonesia bagi kapal-kapal dagang bangsa asing, sehingga menjadi daya tarik bagi pedagang Cina.

Pada tahun 1563 Peter Diego de Magelhaes dari Portugis berangkat dari Ternate menuju Manarouw mengajarkan pokok-pokok iman Kristen. Lalu Raja Manarouw bersama rakyatnya 1500 orang dibaptis kesemuanya adalah orang Sangir. Baptisan dilakukan di muara sungai Tondano dan dihadiri oleh Raja Siauw bernama Possuma. Raja Possuma lalu memberi diri untuk dibaptis dengan nama Don Jeronimo (nama portugis) Kemudian Peter Diego de Magelhaes ke Kaidipan (pesisir utara Gorontalo) membaptis 2000 orang selama 8 hari.

Tahun 1570 Bulango dari kerajaan Bowontehu (pulau Manarouw) berlayar menuju Tagulandang. Bulango mempunyai seorang anak perempuan bernama Lohoraung mendirikan kerajaan Taghulandang atau Mandorokang di pulau itu bersama para pengikutnya. Bulango adalah saudara dari Lokongbanua II dimana keduanya adalah keturunan ke sembilan dari raja Mokodoludut dengan istrinya Baunia dari kerajaan Bowontehu.

Pada tahun 1585 Peter lain mengunjungi Manarouw ternyata iman Kristen telah lenyap kembali menjadi kafir. 1606 Spanyol merebut kembali Maluku Utara maka penyebaran agama Kristen kembali dilakukan di Ternate.

Pada tahun 1614 Spanyol memusatkan kekuatannya di Manarouw untuk menghadapi serbuan Belanda, dibangun sebuah benteng dipesisir kota itu yang berhadapan dengan pulau Manado Tua

1619 Penduduk Manarouw sebagian besar telah beralih agama menjadi islam. Oleh karena itu Misi Injil mengalihkan penyebaran ke pegunungan yaitu orang-orang dari suku pedalaman yang disebut alifuru lalu tiba Tomohon dan Tondano. Namun misi ini gagal, karena kedatangan misionaris dihubungkan dengan hasil panen. Saat itu panen tidak berhasil sehingga dikatakan dewa telah murka, para misionaris di usir. Seperti dalam surat Pater Blas Palomino tanggal 8 Juni 1619. Sebelum dia terbunuh di Minahasa pada tahun 1622, dia menulis mengenai sikap permusuhan para Walian pemimpin agama suku terhadap para Missionaris asal Spanyol. Juga Walian Kali yang menghasut kepala Negeri Kali bernama Wongkar untuk menolak dan melarang para Missionaris Spanyol untuk masuk ke pedalaman Minahasa.

Pada tahun 1623 Kerajaan Bawontehu yang berpusat di pulau Manarouw (Manado Tua) dipindakan ke Gahenang/Mahenang nama kuno Wenang berasal dari bahasa Sangir artinya api yang menyala atau bersinar (Suluh,obor), oleh karena dialek bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda mereka mengucapkan Wenang demikian juga dengan Manarouw disebut Manado. Kemudian Bowontehu/Wowontehu berubah menjadi Kerajaan Manarouw dengan raja bernama Laloda Daloda Mokoagow pada kurun waktu tahun 1644-1674. Penduduk kerajaan ini adalah orang sangihe (Graafland, Minahasa masa lalu dan masa kini, terjemahan Joost Kulit). Raja Loloda Daloda Mokoagow ini adalah anak dari Raja Tadohe. Sedangkan Tadohe sendiri adalah cucu dari Raja Siauw yang bernama Possuma dan cicit dari raja Tabukan (Rimpulaeng) Don Francesco Macaapo Juda I. Kerajaan Manarouw adalah sebagai kerajaan terjauh dari wilayah teritorial kerajaan Sangihe. Setelah Raja Laloda Daloda Mokoagow kemudian menjadi raja adalah Donangbala yang memiliki pedang sakti.

Suku Bantik bukan penduduk pertama yang mendiami Manarow menurut cerita Pada Tahun 1654 Salah satu kerajaan di Sangir yakni kerajaan Malingaheng Kendahe yang dipimpin oleh Raja Sahmensi Arang (Syam Syach Alam)mempunyai seorang anak bernama Putri Bulaeng Tanding. Kerajaan ini dengan wilayah bagian barat pulau sangihe hingga pulau Kaluwurang. Kerajaan ini tenggelam oleh karena peritiwa Dimpuluse (air jatuh dari langit)mereka terdampar di tempat yang bernama Panimbuhing. Bukti peristiwa ini adalah Tanjung Maselihe di dalam terkubur kursi emas dan makota raja konon katanya di jaga oleh ikan hiu. Dari peristiwa tersebut sebagian selamat termasuk seorang yang bernama Bantik. Kemudian mereka mengangkat Bantik sebagai pemimpin lalu berihkrar menjadi satu suku yang baru yaitu Suku Bantik, dengan catatan mereka tidak boleh hidup bersama dalam satu wilayah, agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Maka diatur kelompok-kelopok berlayar dengan perahu menuju ke Mindanao,ke Beo, ke kema, ke Belang,ke Manaraw, Leok-Buol sedangkan Bantik sendiri pergi ke Mongondow. Jadi suku Bantik merupakan anak suku dari suku Sangir.

Dalam surat Pater Juan Yranzo yag ditulis di Manila tahun 1645 menyebutkan tentang pengusiran Spanyol dari tanah Minahasa pada tanggal 10 Agustus 1644. Pengusiran tersebut mengakibatkan terbunuhnya Pater Lorenzo Garalda. Para Walian Minahasa menghasut masyarakat untuk membunuh semua Missionaris Spanyol. Rencana para walian bocor hingga para Missionaris Spanyol sempat mengungsi ke tepi pantai dan berperahu ke Siauw.

Tahun 1655 Pembangunan Benteng ‘De_Nederlandsche_Vastigheit‚’ dari kayu-kayu balok sempat menjadi sengketa sengit antara Spanyol dengan Belanda. Kos berhasil meyakinkan pemerintahannya di Batavia bahwa pembangunan benteng sangat penting untuk mempertahankan posisi Belanda di Laut Sulawesi. Dengan menguasai Laut Sulawesi akan mengamankan posisi Belanda di Maluku dari Spanyol. Setelah memperoleh dukungan sepenuhnya dari Batavia, Awal Tahun 1661 Kos dari Ternate berlayar menuju Manarouw disertai dua kapal perang Belanda, Molucco dan Diamant. Kekuatan ini mengalahkan Spanyol di Manarow. Tahun 1673 Belanda memapankan pengaruhnya di Manarouw dan merubah benteng semula dengan bangunan permanen dari beton. Lalu Benteng ini diberi nama baru, ‘Ford Amsterdam‚’ dan diresmikan oleh Gubernur VOC dari Ternate. Cornelis Francx‚ pada 14 Juli 1673 (Benteng terletak dikota Manado dibongkar oleh Walikota Manado pada 1949 - 1950).

Tahun 1675 Pendeta J. Montanus mendapati bahwa jemaat-jemaat di Manado sudah sangat lemah. Tahun 1677 VOC menetapkan Pendeta Zacharias Cacheing di Manado. Sampai tahun 1700 tidak banyak lagi pendeta yang mau datang ke Indonesia. Kekristenan pada masa VOC terjadi bukan karena keimanan tetapi karena tekanan politik. (Prof.Dr.I.H.Enklaar.Sejarah gereja ringkas,81,1966)

Pada tahun 1677 Compeni mengadakan perjanjian dengan Raja Siau dengan persaratan kesepakatan bahwa Raja serta rakyat harus beralih agama dari Kristen Katolik menjadi Protestan. Gubernur VOC Maluku, Robertus Padtbrugge ketika berada di Manado tahun 1677 mengatakan bahwa orang Sangir Tualah adalah penduduk pribumi yang pertama di Manado, yakni sekitar tahun 1332.

Manado bukan Minahasa,(sejarah Minahasa-Kontrak 19 Januari 1679 hal 61). Minahasa itu Malesung, disebut oleh orang Sangir Tau Kaporo (orang yang hidup digunung), sehingga orang Minahasa disebut orang gunung. Manarauw adalah wilayah toritorial dari kerajaan Sangihe-Talaud.

Perserikatan Pekabaran Injil Belanda Van der Kamp mendirikan NZG Tahun 1797. Tahun 1817 Pendeta Josep Kam berkunjung ke Minahasa. Tahun 1819 Lenting berkunjung ke Minahasa.Pendeta Josep Kam dan Ds. Lenting mendapati orang Kristen tidak ada pelayanan lagi,lalu mereka melaporkan keadaan itu pada NZG di Belanda. Pada tahun 1822 atas laporan diatas maka NZG mengirim 2 orang berkebangsaan Swiss, L.Lamers di Kema ( meninggal 1824 di Kema ) W. Muller di Manado (meninggal 1827 di Manado) Mereka meninggal karena penyakit Typus.Dalam pelayanan, mereka mengalamai banyak hambatan dan tantangan terutama dari kalangan turunan Eropa.Tahun 1827 pelayanan manado diganti oleh Ds. G. J. Helendoorn. 4 tahun kemudian tahun 1831 dikirim lagi 2 orang pelayan yaitu : Johann Friedrich Riedel dan Johann Gottlieb Schwars. Tahun 1855, NZG mengutus S.D. van der Velde van Capellen dari Minahasa ke Sangihe dan membaptis 5033 orang.Ketika itu S.D. van der Velde van Capellen sedang bertugas di Tareran,Minahasa.

Menurut Catatan Robertus Padburgge,1867, kerajaan Manarouw hancur akibat perang berkepanjangan dengan kerajaan Bolaang. Perang ini menyebabkan penduduk berserak sebagian ke pulau Sangir, Likupang dan Bitung. Menurut penuturan tua-tua bahwa sebagian orang sangir meninggalkan Manarouw akibat kekurangan makanan karena diserang oleh gerombolan kera serta adanya wabah penyakit. Penduduk yang kuat pergi ke Sangir, Likupang dan Bitung sedangkan yang sakit-sakitan mereka tetap tinggal menetap di Manarouw. Kerajaan ini di dalam buku Kakawin Negara Kerta Gama oleh Empu Prapanca tahun 1365 disebut sebagai Uda Makataraya. Wilayah kerajaan ini terpisah dari sejarah orang Sangir-Talaud setelah Belanda dengan VOC menguasai perdagangan wilayah ini dengan kontrak perjanjian yang ditanda tangani oleh raja-raja Siau (arsip Perpustakaan Sulut) dan pada tahun 1908-1912 Manado dan sekitarnya diserahkan oleh raja Siau XVIII bernama A.J. Mohede kepada Assisten Residen, serta pada tahun 1951 dimana Manado menjadi Daerah Bagian Kota dari Minahasa sesuai Surat Keputusan Gubernur Sulawesi tanggal 3 Mei 1951 Nomor 223. Tetapi hingga kini penduduk terbanyak di Kota Manado berasal dari Etnis Sangihe Talaud.(*)

(http://manado.tribunnews.com/2013/06/25/asal-usul-manado-siau-dan-sangihe-talaud)

Monday, March 4, 2013

Marga: Keluarga dan Kekerabatan dalam Pengetahuan Orang Batak Toba, Sumatera Utara

(sumber: http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2598/marga-keluarga-dan-kekerabatan-dalam-pengetahuan-orang-batak-toba-sumatera-utara)
Marga adalah istilah orang Batak Toba untuk menyebut leluhur induk dari silsilah keluarga dan kekerabatan mereka. Sebagai sebuah tradisi, marga telah menjadi identitas dan status sosial orang Batak Toba yang masih bertahan hingga kini.

1. Asal-usul

Suku Batak adalah salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia. Suku ini banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara, khususnya daerah di sekitar Danau Toba. Pada masa lampau, wilayah ini disebut sebagai Tano Batak, yang berarti daerah yang mengelilingi Danau Toba. Konon, sebenarnya Tano Batak itu meluas hingga sampai ke wilayah Aceh Selatan dan Aceh Tenggara. Hal ini terbukti dari adanya sebagian kalangan yang mengkategorikan orang Nias dan orang Aceh Gayo sebagai orang Batak. Tano Batak menjadi lebih kecil setelah pemerintah Belanda dengan sengaja memecah belah wilayah tersebut demi strategi penjajahan mereka (J.C. Vergouwen, 1986).
Suku Batak memiliki sub-sub suku yang terikat kuat antara satu dengan lainnya. Ada beberapa pendapat tentang jumlah sub-sub suku ini. Ada yang menyebut bahwa ada lima sub, yaitu sub suku Toba, Mandailing, Karo, Simalungun, dan Pakpak. Namun, ada juga yang menyebut sebelas, yaitu kelima sub tersebut ditambah dengan Pasisir, Angkola, Padang Lawas, Melayu,[1] Nias, dan Alas Gayo (Gens G Malau, 2000).
Suku Batak diikat oleh kelompok kekerabatan yang mereka sebut sebagai marga. Adapun kegiatan menelusuri silsilah garis keturunan marga disebut dengan istilah tarombo. Salah satu sub suku Batak yang masih menjaga tradisi marga dan tarombo hingga kini adalah Batak Toba. Suku ini tersebar di empat wilayah Tapanuli, Sumatera Utara, yaitu Toba, Silindung, Samosir, dan Humbang. Marga Batak Toba adalah marga pada Suku Batak Toba yang berasal dari daerah di Sumatera Utara, terutama yang tinggal di Kabupaten Tobasa yang wilayahnya meliputi Balige, Porsea, Laguboti, dan sekitarnya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 2005, halaman 716, mengartikan marga sebagai kelompok kekerabatan yang eksogam dan unlinear, baik secara matrilineal (perempuan) maupun patrilineal (laki-laki). Adapun masyarakat umum Batak mengartikan marga sebagai kelompok suku dan suku induk. Menurut Vergouwen (1986), jika melihat realitas yang terjadi di masyarakat Batak Toba sekarang, arti ini terlihat tidak sesuai dengan realitasnya karena bagi orang Batak Toba, marga juga dimaksudkan untuk menunjukkan satuan suku-suku yang lebih kecil dan kelompok yang lebih besar. Hal ini juga disebabkan oleh alur pokok dari struktur silsilah (tarombo) Batak Toba yang beragam.
Orang Batak Toba hingga kini masih meyakini bahwa marga dan tarombo penting untuk dicari dan diperjelas karena seluruh orang Batak meyakini bahwa mereka adalah Dongan-Sabutuha. Dongan-Sabutuha berarti “mereka yang berasal dari rahim yang sama” (Vergouwen, 1986: 1). Hal ini diperkuat juga dengan peribahasa Batak yang berbunyi Tinitip sanggar bahen huru-huruan/Djolo sinungkun marga asa binoto partuturan. Arti peribahasa ini adalah “untuk membuat sangkar burung, orang harus memotong gelagah. Untuk tahu hubungan kekerabatannya orang harus menanyakan marga”.
Keyakinan bahwa orang Batak Toba berasal dari rahim yang sama ini (satu marga dan tarombo) disebabkan oleh penetapan struktur garis keturunan mereka yang menganut garis keturunan laki-laki (matrilineal) yang brarti bahwa garis marga dan tarombo orang Batak Toba dteruskan oleh anak laki-laki. Jika orang Batak Toba tidak memiliki anak laki-laki, maka marga dan tarombo-nya akan punah. Adapun posisi anak perempuan atau perempuan Batak Toba adalah sebagai pencipta hubungan besan karena perempuan harus kawin dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain.

2. Konsep Marga

Orang Batak menganut falsafah kekeluargaan dan kekerabatan yang disebut dengan Tungku nan Tiga (tungku tiga kaki). Dalam bahasa Batak Toba, falsafah ini disebut Dalihan na Tolu (tungku posisi duduk). Falsafah ini mengajarkan kepada orang Batak Toba bahwa sejak lahir hingga meninggal kelak, orang Batak Toba harus jelas struktur hubungan kekeluargaan dan kekerabatannya. Falsafah Dalihan Na Tolu berisi tiga kedudukan penting orang Batak Toba dalam kekerabatan, yaitu Hula-hula atau Tondong, Dongan Tubu atau Sanina, dan Boru
  • Hula-hula atau Tondong adalah kelompok yang menempati posisi paling atas, yaitu posisi yang harus dihormati oleh seluruh orang Batak Toba. Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah pihak keluarga dari istri yang disebut sebagai Somba Marhula-hula.
  • Dongan Tubu adalah kelompok yang posisinya sejajar, misalnya teman dan saudara satu marga. Kelompok ini adalah kelompok yang rentan terhadap perpecahan. Untuk itu, budaya Batak Toba mengenal konsep Manat Mardongan Tubu, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.
  • Boru adalah kelompok yang menempati posisi bawah, artinya kelompok ini harus selalu dikasihi (Elek Morboru). Adapun yang termasuk kelompok ini adalah saudara perempuan dari marga suami dan dari pihak ayah.
Dalihan Na Tolu tidak mirip dengan konsep kasta dalam agama Hindu. Perbedaannya terdapat pada ketetapan setiap posisi dalam sistem ini. Posisi msasing-masing kasta dalam sistem kasta Hindu tidak dapat berubah. Sebagai contoh, jika seseorang lahir dalam posisi kasta Brahmana, maka demikian posisi seterusnya hingga dia meninggal kelak. Kasta Brahmana tersebut tidak dapat berubah menjadi Sudra misalnya. Sementara itu, posisi Dalihan Na tolu sangat bergantung pada konteksnya (berubah-ubah). Semua anggota masyarakat Batak Toba suatu ketika pasti akan mengalami menjadi Hulahula, Dongan Tubu, atau Boru. Sebagai contoh, salah satu anggota keluarga dari istri seorang bupati bisa jadi hanya menjabat sebagai camat, namun dalam sebuah upacara adat, si bupati tersebut harus mau mencuci piring untuk melayani keluarga istrinya karena keluarga istri masuk dalam kelompok atas (Hula-hula) dan si bupati masuk dalam posisi bawah (boru).
Semua orang Batak harus berperilaku seakan-akan sebagai “raja” berdasarkan falsafah kekerabatan di atas. Artinya, dalam struktur tata kekerabatan Batak Toba, orang harus berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak, bukan raja sebagai orang yang berkuasa. Maka dari itu, dalam setiap pembicaraan adat, sering terdengar sebutan Raja ni Hulahula, Raja ni Dongan Tubu, atau Raja ni Boru. Selain itu, penyebutan ini dimaksudkan untuk menghormati setiap posisi dalam Dalihan Na Tolu (semua orang Batak Toba dianggap sederajat).
Orang Batak Toba menggunakan dua model pengklasifikasian dalam menentukan marga seseorang, yaitu berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan wilayah permukiman (teritorial).

a. Berdasarkan keturunan (genealogis)

Orang Batak Toba meyakini bahwa bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan ini didasarkan pada silsilah (Tamboro) yang berujung pada Si Raja Batak. Berdasarkan keyakinan ini, maka semua orang Batak diyakini pasti memiliki marga.
Hal tersebut didasarkan pada sebuah kisah yang masih dipercayai hingga kini oleh Orang Batak Toba. Menurut kisah tersebut, Si Raja Batak adalah anak dari seorang perempuan yang bernama Si Borudeakparudjar. Si Borudeakparudjar sendiri adalah seorang keturunan dewata yang bernama Debata Muladjadi Nabolon. Suatu ketika, Debata Muladjadi Nabolon memerintahkan Si Borudeakparudjar untuk menciptakan bumi. Setelah menjalankan perintah dewata tersebut, kemudian Si Borudeakparudjar pergi dan tinggal di daerah yang bernama Siandjurmulamula. Konon, daerah ini terletak di lereng gunung Pusuk Buhit. Dalam perkembangannya, kelak daerah inilah yang akan menjadi tempat tinggal Si Raja Batak. Daerah ini juga diyakini sebagai tempat seluruh orang Batak berasal.
Si Raja Batak mempunyai dua orang putra, yaitu Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon. Dua orang putra inilah yang nantinya akan menurunkan seluruh orang Batak hingga sekarang ini. Orang Batak yang berasal dari keturunan Guru Tatea Bulan dikenal dengan sebutan Belahan (cabang) Lontung. Adapun orang Batak yang berasal dari keturunan Si Raja Isumbaon dikenal dengan sebutan Belahan Sumba.

1. Belahan Lontung

Belahan Lontung adalah sebutan untuk orang Batak keturunan dari Guru Tatea Bulan. Guru Tatea Bulan mempunyai lima orang putra, yaitu Raja Biakbiak, Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja, dan Malau Raja.  Dalam perkembangannya, Raja Biakbiak konon pergi ke Aceh dan tidak diketahui lagi apakah dia meninggalkan keturunan atau tidak. Sementara itu, Saribu Raja mempunyai tiga orang putra, yaitu Si Raja Lontung, Borbor, dan Babiat. Babiat konon pergi Karo dan tidak diketahui lagi sejarah dan keturunannya.
Limbong Mulana pada mualnya mendiami lembah di sebelah selatan punggung gunung yang menghubungkan dengan Pusuk Buhit dengan Tanah Datar. Sementara itu, Sagala Raja mendiami lembah yang di sebelah utara punggung gunung. Adapun Malau Raja tinggal di kawasan Pangruruan dengan memakai nama Damanik, yang memerintah wilayah swapraja Siantar di Sumatera Timur.
Si Raja Lontung mempunyai tujuh orang putra, yaitu Toga Sinaga, Toga Situmorang (Pande, Lumban Nahor, Suhut ni Huta, Siringgo-ringgo, Rumapea, Sitohang), Toga Pandiangan ( Pandiangan, Samosir, Gultom, Harianja, Pakpahan, Sitinjak), Toga Nainggolan, Toga Simatupang, Toga Siregar, dan Toga Aritonang. Toga Nainggolan sendiri mempunyai dua orang putra, yaitu Toga sibatu (Sibatuara, Parhusip) dan Toga Sihombar (Lbn. Nahor, Lbn. Tungkup, Lbn. Raja, Lbn. Siantar, Hutabalian). Adapun Si Raja Borbor menurunkan marga Pasaribu, Harahap, Parapat, Matondang, Sipahutar, Tarihoran, Saruksuk, Lubis, Batubara, Pulungan, Hutasuhut, Daulay).
Anak Guru Tatea Bulan kedua, yaitu Limbong Mulana memiliki dua putra, yaitu Palu Onggang dan Langgat Limbong. Anak keempat Guru Tatea Bulan, yaitu  Sagala Raja, menurunkan marga Hutaruar, Hutabagas, dan Hutaurat. Adapun anak keempat Guru Tatea Bulan, yaitu Malau Raja menurunkan marga Pase, Nilambean, Manik&Damanik, Ambarita, dan Gurning.

2. Belahan Sumba

Belahan Sumba adalah sebutan untuk orang Batak Toba keturunan dari Si Raja Isumbaon. Raja Isumbaon hanya mempunyai seorang putra, yaitu Tuan Sorimangaraja. Konon Tuan Sorimangaraja mempunyai tiga orang istri, yaitu Nai Ambaton, Nai Rasaon, dan Nai Suanon. Dari ketiga istri inilah nanti yang akan menurunkan puak-puak Belahan Sumba. Puak-puak ini tinggal tersebar di wilayah Sumatera Utara.
Nai Ambaton menurunkan marga induk Simbolon, Munte dan Saragi. Simbolon menurunkan dua marga, yaitu pertama Simbolon tua yang terdiri dari Simbolon, Tinambunan, Tumanggor, Turutan, Pinayungan, dan Mahanahampun. Kedua Tamba Tua yang terdiri dari Tamba, Sidabutar, Sidabalok, Siadari, Sijabat. Munte atau Munte Tua  menurunkan marga Munte, Sitanggang, dan Sigalingging. Sementara itu, Saragi atau Saragi Tua menurunkan marga Saing, Simalango, Simarmata, Nadeak, Sidabungke, Rumahorbo, Sitio, dan Napitu. Keturunan puak Nai Ambaton ini sekarang banyak ditemukan di pantai timur Sumatera. Sebaliknya puak ini jarang ditemukan di bagian selatan danau Toba.
Nai Rasaon melahirkan seorang putra bernama Raja Mangareak dan menurunkan marga Manurung, Sitorus, Sirait, dan Butar-butar. Anak keturunan puak Nai Rasaon ini saat ini banyak tinggal di daerah Uluan. Mereka tinggal dalam kelompok di kampung-kampung kecil.
Sementara itu, dari Nai Suanon lahir seorang anak bernama Tuan Sorbanibanua. Tuan Sorbanibanua mempunyai dua istri, yaitu Pasaribu dan Sibasopaet. Dari istri pertama lahir empat anak laki-laki (tidak dihitung yang sudah meninggal). Empat anaknya inilah yang nantinya menurunkan kelompok-kelompok Sibagotni Pohan, Sipaettua, Silahisabungan, dan Raja Oloan. Puak ini banyak tinggal di hampir seluruh bagian tengah danau Toba.
Sibagotni Pohan mempunyai empat putra, yaitu Tuan Sihubil (Tampubolon), Tuan Dibangarna (Panjaitan, Silitonga, Siagian, Sianipar), Tuan Somanimbil (Siahaan, Simanjuntak, Hutagaol), dan Sonak Malela (Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, Pardede).
Dari istri kedua lahir tiga anak laki-laki, yaitu Si Raja Sobu (Sitompul, Hasibuan, Hutabarat, Panggabean, Simorangkir, Hutagalung, Hutapea atau Tobing), Si Saja Sumba, dan Si Raja Naispospos.
Si Raja Sumba sendiri mempunyai dua putra, yaitu Sihombing (Silaban, Lumban Toruan, Nababan, Hutasoit) dan Simamora (Purba, Manalu, Debataraja, Tuan Sumerhan). Sementara itu, Si Raja Naipospos menurunkan marga Marbun, Sibagariang, Simanungkalit, Hutauruk, dan Situmeang.

b. Berdasarkan wilayah pemukiman (teritorial)

Kekerabatan orang Batak Toba yang ditentukan berdasarkan wilayah pemukiman terlihat dari terbentuknya kesepakatan terhadap tradisi adat-istiadat yang ada di setiap wilayah. Sebagai contoh, orang Batak yang bermukim di wilayah Mandailing, mereka akan membentuk suatu tradisi adat-istiadat yang memiliki corak sendiri dibandingkan dengan adat-istiadat suku Batak yang bermukim di Toba. Hal ini dapat terjadi meskipun orang Batak yang bermukim di Mandailing dan Toba banyak memiliki marga yang sama, seperti marga Siregar, Lubis, Hasibuan, dan Batubara.
Kekerabatan berdasarkan wilayah pemukiman ini memiliki daya rekat yang sama kuat dengan kekerabatan yang berdasarkan keturunan. Hal ini tergambar dalam peribahasa Batak Toba yang berbunyi:
Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul (Semua orang mengakui bahwa hubungan garis keturunan adalah sudah pasti dekat, tetapi dalam sistem kekerabatan Batak lebih dekat lagi hubungan karena bermukim di satu wilayah)
Berdasarkan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), maka tempat tinggal suku Batak Toba terbagai dalam 4 (empat) wilayah besar. Keempat wilayah tersebut adalah sebagai berikut.
  1. Wilayah Samosir, yaitu Pulau Samosir dan sekitarnya. Adapun marga yang hidup di wilayah ini antara lain marga Simbolon dan Sagala.
  2. Wilayah Toba, yaitu daerah Balige, Laguboti, Porsea, Parsoburan, Sigumpar, dan sekitarnya. Adapun marga yang tinggal di daerah ini antara lain marga Sitorus dan Marpaung.
  3. Wilayah Humbang, yaitu daerah Dolok Sanggul, Lintongnihuta, Siborongborong, dan sekitarnya. Adapun marga yang tinggal di daerah ini antara lain marga Simatupang Siburian, dan Sihombing Lumban Toruan.
  4. Wilayah Silindung, yaitu daerah Sipoholon, Tarutung, Pahae, dan sekitarnya. Adapun marga yang hidup di daerah  ini antara lain marga Naipospos (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun) dan Huta Barat.

3. Pengaruh Sosial

Penetapan ikatan kekeluargaan dan kekerabatan berdasarkan marga memiliki pengaruh sosial yang beragam bagi kehidupan orang Batak Toba. Hal ini menandakan bahwa marga sebagai sebuah tradisi menjadi salah satu unsur yang penting dalam kehidupan orang Batak Toba. Pengaruh sosial konsep marga terwujud dalam beberapa hal, antara lain:
  • Pengaruh terhadap identitas sosial orang Batak Toba. Setiap bayi orang Batak Toba yang lahir akan secara otomatis langsung menyandang marga ayahnya. Jika bayi tersebut laki-laki, maka dia menyandang marga ayahnya dan akan menjadi penerus generasi selanjutnya. Apabila yang lahir bayi perempuan, ia juga akan menyandang marga ayahnya meskipun marga itu tidak lagi berkelanjutan karena suku Batak Toba tidak menganut sistem garis keibuan (matrilineal). Dalam konteks ini, marga berfungsi sebagai identitas sosial orang Batak Toba. Tanpa marga yang jelas, maka tentu saja identitas sosial seorang bayi yang baru lahir di Batak Toba tidak diketahui. Ketidakjelasan marga ini nantinya juga akan berpengaruh terhadap identitas kewarganegaraan seseorang setelah dewasa karena akan sulit tercatat dalam data penduduk.
  • Pengaruh terhadap status sosial. Dalam hubungan sosial, marga menjadi ukuran seseorang dalam bersikap terhadap orang lain. Hubungan antar-marga pada masing-masing suku Batak berbeda jenisnya. Pada Suku Batak Toba, hubungan marga ini dapat dilihat dari asal muasal marga tersebut pada garis keturunan Si Raja Batak. Semakin dekat marga tersebut dengan Si Raja Batak, maka semakin dituakanlah marga tersebut, dan orang akan semakin menghormatinya. Falsafah Dalihan Na Tolu memang memperlihatkan bahwa orang Batak Toba tampak sangat demokratis, akan tetapi tetap saja mereka mempunyai konsep tersendiri sehubungan dengan pengambilan sikap terhadap orang lain yang mempunyai silsilah yang lebih dekat dengan Si Raja Batak. Dalam konteks ini, marga tetap menjadi salah satu ukuran status sosial di masyarakat Batak Toba.
  • Pengaruh terhadap hukum adat perkawinan Batak Toba. Dalam hukum perkawinan adat Batak Toba telah ditetapkan bahwa jika laki-laki dan perempuan memiliki marga sejenis dan saling mencintai (tidak harus sama) maka keduanya tidak diperbolehkan menikah. Jika melanggar ketetapan ini, maka si pelanggar akan mendapatkan sanksi adat. Hal ini ditujukan untuk menghormati marga seseorang dan agar keturunan marga tersebut dapat berkembang. Dalam konteks ini, marga memiliki kedudukan yang cukup tinggi dalam hukum adat Batak Toba.
  • Pengaruh terhadap sistem sosial. Dalam lingkungan sosial Batak Toba, posisi yang diajarkan dalam falsafah Dalihan Na Tolu dapat disandang oleh siapa saja. Sebagai contoh, seorang Batak Toba pada saat tertentu berada dalam posisi boru, akan tetapi di lain waktu posisinya bisa berubah menjadi hula-hula atau dongan tubu. Hal itu sangat bergantung pada konteks adat dan keseharian. Ketika seorang Batak Toba yang masuk dalam kelompok boru (bawah) menikah dengan marga lain, maka status sosial yang disandangnya menurut sistem Dalihan Na Tolu adalah tetap sebagai boru. Adapun marga suaminya menjadi hula-hula. Dalam konteks ini, marga ikut berpengaruh terhadap sistem sosial, yaitu dalam hal kedudukan seseorang pada kekerabatan dan sosial orang Batak Toba. Secara etika, marga juga mengajarkan kepada masyarakat Batak Toba untuk tidak menyombongkan keturunannya karena dalam waktu tertentu status mereka dapat berubah.
  • Pengaruh terhadap meluasnya relasi sosial orang Batak umumnya dan Batak Toba khususnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia sekarang ini orang Batak menempati profesi khusus yang cukup terkenal, yaitu profesi sebagai pengacara. Keidentikan profesi pengacara dengan orang Batak ini tentu saja tidak lepas dari relasi sosial yang mereka bangun atas nama marga mereka dan sesama orang Batak. Dalam konteks ini, marga tampaknya menjadi alat ampuh yang digunakan oleh orang Batak dalam menegaskan dominasi mereka sebagai pengacara. Marga dalam hal ini juga berfungsi sebagai media untuk mempererat rasa persaudaraan antarsesama orang Batak di perantauan.
  • Pengaruh terhadap pergantian marga. Marga adalah ciri khas dan identitas orang Batak Toba. Sebagai sebuah identitas, tidak memakai marga dianggap sebagai sebuah pelanggaran adat dan sosial. Dalam kondisi ini, marga terkadang menjadi beban bagi perempuan Batak Toba yang tidak menginginkan anaknya menyandang marga ayahnya yang telah meninggal (atau mungkin sang ibu sudah tidak suka dengan suaminya). Sebagai contoh, ada seorang ibu Batak Toba yang melahirkan bayi perempuan. Karena suaminya bermarga A, tentu otomatis sang bayi itu menyandang marga ayahnya yang A. Tatkala umur sang bayi masih 4 hari, sang ayah meninggal dunia. Menjelang usia si bayi menapak tahun ke-3, sang ibu menikah lagi dengan lelaki dari marga lain, katakanlah marga B. Sejak saat itu, otomatis si bayi marga A tersebut dibesarkan dalam keluarga yang dipimpin marga B. Ternyata, dalam penulisan ijazah si anak tidak ada tercantum penggunaan marga aslinya (A), melainkan hanya dicantumkan namanya saja. Terlepas dari niat ibunya, dalam konteks ini, marga di satu sisi dianggap membelenggu orangtua yang tidak menginginkan anaknya untuk memakai marga ayahnya yang telah meninggal.

4. Penutup

Ketika banyak tradisi dan adat istiadat suku bangsa di Indonesia mulai tergerus oleh budaya modern (bahkan ada yang punah tanpa bekas), marga sebagai salah satu tradisi suku Batak Toba masih bertahan hingga kini. Dalam konteks ini, kebiasaan orang Batak Toba untuk meletakkan marga di belakang namanya perlu diapresiasi dan didukung. Hal ini dikarenakan identitas suku Batak Toba tetap terjaga dengan adanya marga.

(Yusuf Efendi/bdy/21/03-10)

Referensi

Sunday, March 3, 2013

Aksi Bakti Sosial & Pemberdayaan (ABSP) 2013 Gerakan Pemuda GPIB, Kalimantan Timur 2 – 9 Februari 2013


Jumat, 1 Februari 2013. Dari Jakarta pkl. 10.50 wib, perjalanan dimulai menuju Balikpapan.

Ini adalah kali pertama saya pergi ke Balikpapan, kali pertama juga saya ikut kegiatan Pelkat GP GPIB tingkat Sinodal bernama Aksi Bakti Sosial & Pemberdayaan (ABSP) untuk tahun ini, yang diadakan di Samarinda. Jadi, karena tiadanya pesawat yang berangkat dari Jakarta langsung ke Samarinda, maka harus lewat bandara Sepinggan di Balikpapan dulu, baru lewat jalan darat menuju Samarinda. Kegiatan ini berlangsung dari hari Sabtu 2 Februari hingga Sabtu 9 Februari 2013. Saya adalah perwakilan dari GPIB Karunia Ciputat mupel Banten yang ikut ABSP ini. Kegiatan ini merupakan kegiatan sosialisasi masyarakat yang berfokus pada masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan, juga kepada jemaat GPIB yang berada di pos-pos pelkes (pelayanan dan kesaksian) tertentu, dan membantu meringankan beban hidup masyarakat dan jemaat-jemaat tersebut dengan tugas pengadaan sanitasi air bersih, pembersihan lahan kering dan lahan basah, penanaman bibit unggul, dan kegiatan live in atau tinggal di rumah penduduk atau anggota jemaat setempat serta kegiatan sosial lainnya. Tujuan kegiatan ini sejalan dengan rencana jangka panjang GPIB bersama Unit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (UP2M) yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya jemaat GPIB yang berada di pos-pos pelkes di daerah-daerah terpencil tertentu dan membantu mengembangkan gereja pos-pos pelkes di wilayah GPIB menjadi gereja mandiri. Kegiatan ini juga masuk dalam program kerja Dewan GP bersama Majelis Sinode GPIB yang melibatkan unsur-unsur Pelkat GP di seluruh wilayah GPIB. Kali ini kegiatan dilakukan di Samarinda (setelah sebelumnya di Bangka, Prov. Bangka-Belitung mupel Babel tahun 2012) tepatnya di dua pos pelkes: Pos Pelkes “Petra” (lokasi lahan Gaharu, Jl. Poros Samarinda-Bontang KM. 49, Desa Sukadamai-Perangat, Kec. Muara Badak, Kab. Kutai Kartanegara, wilayah pelayanan GPIB Sola Gratia, Marang Kayu), dan satu lagi di Pos Pelkes “Getsemani” (lokasi lahan Desa Tepian Indah KM. 106. Kec. Bengalon, Kab. Kutai Timur, wilayah pelayanan GPIB Pelita Kasih, Sangatta).
           
            Saya di Bandara Soekarno-Hatta bertemu dengan beberapa teman GP yang berangkat satu pesawat dengan saya menuju Bandara Sepinggan di Balikpapan. Mereka antara lain berasal dari GPIB Paulus Jakarta, Bukit Moria Jakarta, Ekklesia Jakarta, Jatipon Bekasi, dan Galilea Bekasi (total kami berjumlah sebelas orang). Berangkat menggunakan pesawat Citilink, dalam waktu satu setengah jam kami pun tiba di Balikpapan pkl. 13.20 wita (perbedaan waktu antara Jakarta dan Balikpapan adalah satu jam lebih cepat di Jakarta). Di bandara Sepinggan kami pun disambut oleh tim panitia tuan rumah bersama dua orang perwakilan Dewan GP, Erino Theopani dan Rudolf Haurissa (yang kelak menemani satu minggu kegiatan ABSP hingga berakhirnya nanti).
            Dari bandara kami pun berangkat menuju GPIB Immanuel Balikpapan yang ditempuh kurang lebih 20 menit. Dan kami disambut lagi oleh Ketua Majelis Jemaat (KMJ)-nya Pdt. Marthen Leiwakabessy bersama rombongan peserta ABSP yang sudah lebih dulu tiba, antara lain rekan-rekan GP dari GPIB Marga Mulyo Yogyakarta, Filadelfia Bintaro, serta tentu tuan rumah Immanuel Balikpapan beserta beberapa rekan GP dari GPIB lain yang ada di Balikpapan. Kami disambut dengan makanan dan minuman yang sudah disediakan oleh keluarga Pdt. Marthen. Sambil rehat makan siang kami menunggu acara penyambutan peserta ABSP di malam harinya. Dan untuk istirahat malam kami ditempatkan di lantai dua gedung serba guna sebelah gedung gereja, di ruang rapat (untuk peserta laki-laki) dan di ruang pendeta (untuk peserta perempuan).
            Pada saat makan malam, dua teman GP dari GPIB Maranatha Banjarmasin dan GPIB Sion Koba (Babel) sudah hadir menyusul kami makan malam bersama. Setelah selesai makan malam, saling mengobrol sebentar lalu lanjut ke acara penyambutan peserta ABSP oleh tuan rumah dengan tema “malam keakraban (makrab)”. Kami berkumpul di ruang rapat. Kami diajak saling mengenal satu sama lain dengan cara bergantian memperkenalkan diri dan dari GPIB mana (peserta sampai pada Jumat mala mini yang berkumpul di makrab berjumlah 36 orang). Sebelumnya, Bung Oweth, sapaan akrab Rudolf Haurissa, perwakilan Dewan GP, menyampaikan secara singkat kerangka kegiatan untuk ABSP yang akan dimulai esok harinya (Sabtu 2 Februari 2013). Selain Bung Oweth, perwakilan Dewan GP lainnya yang hadir adalah Erino Theopani atau biasa dipanggil Bung Rino. Mereka berdua inilah yang kelak menemani kami para peserta ber-ABSP selama seminggu penuh. Sedangkan pengurus Dewan GP lainnya berhalangan hadir di ABSP kali ini karena kegiatan pelayanan dan pekerjaan masing-masing di Jakarta (salah satunya kegiatan pelayanan pembinaan GP GPIB Bina Kepemimpinan se-mupel Banten di Cinangka, 2 Februari 2013).
            Setelah selesai penyampaian kerangka kegiatan ABSP oleh Bung Oweth dan perkenalan diri, kami diajak bermain game “gombal-gembel”, game saling melempar rayuan gombal kepada salah satu peserta yang jadi target. Kami para peserta sangat antusias bermain game ini sehingga suasana keakraban semakin terasa.
            Setelah hampir satu setengah jam kami mengikuti makrab dan game, Bung Oweth menutup makrab ini dengan menyampaikan rasa syukur dan terima kasih mewakili Dewan GP, panitia dan peserta ABSP atas kesediaan tuan rumah GPIB Immanuel Balikpapan yang sudah menyediakan tempatnya untuk kami para peserta ABSP menginap untuk semalam sebelum akhirnya kami benar-benar berangkat dari Balikpapan menuju Samarinda esok paginya.
            Dan setelah itu kami berfoto bersama sebelum kami tidur.

Sabtu, 2 Februari 2013
            Hari pertama ABSP dimulai.
       Pagi harinya kami menyambut kedatangan beberapa rekan GP yang baru sampai dari Bandara Sepinggan untuk bergabung dengan kami mengikuti ABSP ini. Perjalanan dimulai dari GPIB Immanuel Balikpapan pkl. 12.45 wita menuju lokasi meeting point GPIB Immanuel Samarinda, tiba di lokasi pkl. 14.40 wita (perjalanan darat dua jam), langsung registrasi ulang di tempat dengan memberikan surat tugas dari gereja masing-masing dan bukti transfer kontribusi. Kami disambut tim panitia lokal, KMJ-nya Pdt. Abraham Supriyono,dan beberapa peserta ABSP lain yang lebih dulu tiba di gereja Immanuel Samarinda. Setelah registrasi ulang, kami disambut oleh pihak tuan rumah dengan santapan makan siang yang tersedia.
            Setelah itu kami memulai ibadah pembuka ABSP di gereja tersebut pada pkl. 15.30 wita, di pimpin oleh Pendeta Jemaat (PJ) GPIB Immanuel Samarinda, Pdt. Dinka Nehemia Utomo, yang saat ini bertugas melayani di Pos Pelkes Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Firman yang diambil untuk bahan renungan para peserta ABSP adalah dari 1 Timotius 4: 12-16, di mana inti Firman dari khotbah ini adalah tentang bagaimana para pemuda Kristen memanfaatkan bakat atau talenta yang Tuhan berikan untuk menjadi seorang pemimpin di kehidupan bermasyarakat. Di ibadah ini juga diisi persembahan pujian dari Paduan Suara (PS) GP GPIB Immanuel Samarinda (di mana tiga dari delapan anggotanya merupakan alumni pembinaan GP Bina Kepemimpinan atau BK dari wilayah II di Bandung tahun 2012 lalu) berjudul “Ain’t Go Time To Die”. Setelah ibadah selesai, ada sambutan oleh KMJ Pdt. Abraham S., dilanjutkan pengarahan singkat pengerjaan pertama untuk peserta ABSP oleh ketua panitia umum ABSP Sdr. Donald Salakory (GPIB Bukit Moria Jakarta) atau biasa dipanggil Donda. Dilanjutkan pembagian selimut untuk tidur dan kaos gratis warna abu-abu bertuliskan “ABSP 2013” untuk dipakai kerja para peserta ABSP. Lalu menjelang berangkat ke lokasi pertama pos pelkes, kami tak lupa berfoto bersama. Di luar halaman gereja sudah terparkir dua tronton untuk para peserta laki-laki gunakan dan satu mini bus untuk peserta perempuan serta satu truk khusus untuk menampung barang-barang peserta seperti tas, ransel, keril, koper, dll.
            Pukul. 16.45 wita perjalanan dimulai dari GPIB Immanuel Samarinda menuju lokasi pos pelkes pertama, lahan Gaharu kepunyaan jemaat Pos Pelkes GPIB “Petra” di Perangat. Perjalanan ditempuh kurang lebih dua jam. Selama perjalanan, saya yang berada di tronton satu, bersama sebagian rekan GP antar GPIB tak henti-henti bernyanyi demi mengusir rasa bosan, mual dan kantuk karena perjalanan jauh dan naik-turun jalanan berbukit, sekaligus memulai keakraban sesama rekan GP. Tak terasa pkl. 18.30 wita kami akhirnya tiba di lokasi, disambut langsung oleh tim panitia lokal pos pelkes. Lalu setelah semua berkumpul dan menggandeng barang masing-masing, kami didata untuk menempati dua tenda yang disediakan untuk peserta laki-laki dan satu ruangan khusus untuk peserta perempuan (yang ruangannya persis di bawah rumah kecil atau jemaat setempat menyebutnya mini villa). Lokasi antara dua tenda ini berjarak 50 meter dan akses menuju tenda satu ke tenda lain harus melalui jalan tanjakan berpasir dan berlumpur. Saya dan teman-teman GP yang sudah didata ditempatkan di tenda satu yang berdekatan dengan titik kumpul peserta dan persis di sebelah ruang tidur peserta perempuan. Sedangkan tenda dua berada di atas bukit yang jaraknya tetap 50 meter dan berada persis di dekat pemberhentian kendaraan.
Selama kami ber-ABSP, banyak pendeta dan para penatua/diaken dari berbagai GPIB yang turut terlibat di kegiatan ini. Ada Pdt. Ronald Marbun (KMJ GPIB Immanuel Belinyu, Babel), Pnt. Yohanes Kasto (anggota Departemen Pelkes GPIB, Ketua III [sementara] GPIB Effatha, Jakarta Selatan), Pnt. Okta Rumpak dari GPIB Zebaoth Bogor, Pnt. James Umbohrawung dari GPIB Immanuel Samarinda, Pdt. Deva Handono (KMJ GPIB Eben Haezer Samarinda), Pnt. Thompson Laluyan dari GPIB Bahtera Kasih Makassar, KMJ GPIB Anugerah Jakarta Pdt. Simon Raprap dan KMJ GPIB Sola Gratia Marang Kayu Pdt. Deasy Wattimena-Kalalodan, serta beberapa pengurus GPIB lainnya.
Setelah pembagian tenda, tim panitia lokal menyediakan kue dan minuman untuk melepas dahaga dan mengganjal lapar akibat perjalanan jauh, sebelum akhirnya dilanjutkan makan malam bersama. Setelah makan malam, ada penjelasan singkat oleh tim panitia mengenai situasi kondisi lahan Gaharu, briefing tugas pertama esok harinya, serta petunjuk area tempat mandi, toilet dan dapur terbuka, yang semuanya dibuat dengan seadanya seperti penduduk desa.
Menjelang tengah malam, kami melepas penat sebentar dengan bernyanyi-nyanyi lagu rohani dengan menggunakan gitar milik GP Immanuel Balikpapan yang sejak dari GPIB Immanuel Balikpapan dibawa untuk dimainkan selama ABSP berlangsung hingga Sabtu depannya, tentunya di bawah tanggung jawab peserta ABSP, termasuk saya. Di tengah-tengah kesenangan itu, saya mencetuskan ide bersama teman-teman GP untuk mencoba latihan satu-dua lagu untuk dibawakan saat mengisi puji-pujian di ibadah Minggu yang direncanakan dilaksanakan di tempat ini juga, di tenda satu, esok pagi.
Setelah puas melepas penat dan latihan menyanyi, bintang-bintang  malam yang sangat terang di langit Borneo itu menghantar saya dan teman-teman GP untuk istirahat malam menyambut esok hari sambil menyiapkan tenaga untuk memulai bakti sosial di lahan Gaharu ini.

Minggu, 3 Februari 2013
          Kegiatan pagi dimulai dengan ibadah Minggu dalam bentuk ibadah padang yang dilakukan di tenda satu, pkl. 08.00 wita. Ibadah dipimpin oleh KMJ GPIB Immanuel Samarinda Pdt. Abraham Supriyono, dan ibadah menggunakan Tata Ibadah Minggu HUT Pelkat PT ke-30, yang berulang tahun tgl. 30 Januari 2013. Firman diambil dari Yohanes 1: 1-9, yang inti dari isinya adalah bahwa setiap manusia, khususnya pemuda-pemudi Kristen selalu menyebarkan kisah terang buat orang lain dengan berpegang pada Firman Allah. Tanpa Firman, manusia tidak akan mampu menjadi alat terang Allah untuk orang lain. Pesan HUT Pelkat PT 2013 dibacakan oleh perwakilan Dewan GP, Bung Rino. Dan lagu Mars PT dinyanyikan oleh seluruh yang ada di ibadah ini. Dalam ibadah ini, saya dan beberapa teman GP akhirnya tampil mengisi pujian di bawah nama grup vokal Pohon Karet (karena lokasi tenda satu tempat ibadah ini berada persis di bawah pohon karet) dengan membawakan dua pujian berjudul “Lingkupiku” dan “Kaulah Harapan”.
           Kelar ibadah, kami pun bersiap-siap memulai kerja bakti ke lahan Gaharu. Sebelumnya, ada briefing singkat dari panitia mengenai bagaimana memulai kerja bakti, apa saja yang perlu dipersiapkan, dan pembagian kelompok supaya tidak tumpang tindih saat bekerja. Peralatan seperti sarung tangan, parang, pacul dan cangkul sudah disiapkan panitia. Peserta tinggal menambahkan perlengkapan sendiri seperti kacamata hitam untuk menahan silau matahari, masker untuk menghindari debu, sepatu boots untuk menahan ranting-ranting berduri, dan tentunya pakaian kerja bakti. Menjelang siang kami langsung berangkat jalan kaki menuju lokasi lahan Gaharu. Suasana lahannya berbukit membentuk bundaran besar mengelilingi tanah dan bekas pepohonan yang sebelumnya sudah dibakar habis akibat pembebasan lahan dari milik warga setempat menjadi milik jemaat GPIB setempat. Di tengah-tengah bukit berbentuk bundaran besar itu, ada rawa-rawa. Seluruh lahan Gaharu ini luasnya kurang lebih 4,5 hektar. Pembagian kelompok tadi ada berjumlah 10 kelompok, saya di kelompok 9. Tugas kami adalah 10 kelompok ini mengelilingi bukit besar ini dan membuang sisa-sisa ranting, kayu dan batang pohon yang terbakar habis sekaligus membersihkan lahan tersebut. Cuaca hari itu sangat panas. Matahari tak henti-henti menyirami kami dengan sinar dan hawa panasnya. Bakal menghitam kulit ini. Setelah 20 menit kami membersihkan lahan tersebut, kami lalu kembali ke dapur terbuka untuk istirahat sejenak lalu makan siang. Kelar makan siang, ada penjelasan singkat mengenai penanaman bibit pertama di lahan Gaharu ini, yaitu tanaman Gambir. Setelah semua jelas kami pun melaksanakan penanaman Gambir ini, masih dibawah terik panas matahari. Menjelang sore, kami akhiri kegiatan ini dengan beristirahat, sambil menyimpan tenaga untuk melanjutkan penanaman esok harinya. Kami pun mandi lalu makan malam sambil mendengar briefing singkat untuk kelanjutan penanaman esok harinya oleh panitia.
Menjelang malam, beberapa rekan GP perwakilan GPIB mupel Babel (Bangka Belitung) baru datang dan bergabung bersama kami. Sempat juga ada acara lomba menari dan bernyanyi untuk melepas penat setelah hampir seharian bekerja di lahan Gaharu, sambil kembali mengakrabkan diri satu dengan yang lain. Puas bersenang-senang, kami pun kembali ke tenda masing-masing untuk istirahat malam.

Senin, 4 Februari 2013
            Subuh hari ditandai dengan hujan yang cukup besar. Menjelang berkegiatan hujan perlahan mulai berhenti. Kegiatan kali ini merupakan lanjutan dari kegiatan kemarin harinya, namun ada penanaman bibit baru. Selain melanjutkan penanaman bibit Gambir yang tersisa, diselingi juga penanaman bibit Gaharu. Sebelum beraksi, setelah sarapan, briefing singkat mengenai asal-usul tanaman Gaharu ini beserta cara penanamannya dijelaskan oleh ahli botani Prof. Fred Rumawas dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor, sekaligu anggota jemaat GPIB Zebaoth, Bogor. Kelar mendapat pengetahuan baru, kami langsung menuju bukit untuk melanjutkan penanaman bibit Gambir dan penanaman tanaman baru bibit Gaharu. Cuaca kali ini agak sedikit berbeda dengan kemarin. Masih tetap panas, hanya saja diselingi dengan angin sepoi-sepoi dan beberapa saat kemudian hujan berawan cenderung sedikit mendung. Mungkin karena efek hujan besar subuh sebelumnya.
            Kami lalu bekerja menanam bibit-bibit Gambir dan Gaharu sesuai arahan dari dari Prof. Fred. Lokasi yang sudah kami bersihkan di hari sebelumnya, kami tanami bibit-bibit yang aslinya berkualitas ini. Dengan cuaca panas berangin, dengan semangat bekerja sama menanam bibit-bibit unggul ini, tak terasa pekerjaan kami berlalu hampir tiga jam. Setelah dirasa cukup, kami lalu berfoto bersama dengan hasil kerja bakti penanaman bibit-bibit ini.
            Penanaman bibit Gambir dan bibit Gaharu selesai sudah, dengan rincian penanaman 1000 bibit Gambir dan 600 bibit Gaharu (100 bibit disemai, 300 bibit telah ditanam, 200 bibit siap tanam). Pada akhirnya kegiatan bakti sosial penanaman bibit-bibit unggul di lahan Gaharu usai sudah untuk hari ini. Sambil beristirahat makan siang, ada sedikit sambutan oleh Pdt. (Emeritus) Cornelis Wairata (sekarang melayani di UP2M GPIB) perihal ucapan terima kasih kepada kami peserta ABSP yang dua hari ini telah membantu penanaman bibit-bibit unggul di lahan Gaharu ini, juga perihal rencana ke depan lahan Gaharu. Usai penyambutan, kami bergegas mandi untuk packing barang, berangkat pindah lokasi ke pos pelkes kedua di Pos Pelkes GPIB “Pelita Kasih”, Sangatta. Sebelum berangkat kami tentu berfoto bersama sebagai kenang-kenangan terindah selama ber-ABSP. Dan perjalanan pun dimulai kurang lebih tiga jam dari Perangat ke Sangatta.
            Tak terasa sampailah kami di Pos Pelkes GPIB “Pelita Kasih” di Sangatta. Kami disambut cukup antusias oleh sebagian anggota Pelaksana Harian Majelis Jemaat (PHMJ) setempat bersama PJ Pdt. Lolita Usmany (yang melayani di Pos Pelkes GPIB “Pancaran Kasih” Bengalon), beberapa rekan GP, beberapa anak kecil dari PA dan PT, sebagian ibu-ibu PKP dan sebagian bapak-bapak PKB, semua dari tuan rumah. Hampir semua pelkat yang ada di GPIB Pelita Kasih Sangatta ini menyambut kami semua, luar biasa. Mungkin hanya pelkat PKLU yang tidak kelihatan. Kami juga disambut dengan santapan malam yang sudah disediakan.
            Setelah tiba kami lalu dikumpulkan di satu ruangan yang nantinya kami pakai untuk kami tiduri. Setelah itu, ada sambutan selamat datang dari KMJ setempat Pdt. Nicodemus Boenga. Sambutan yang cukup meriah, sembari memperkenalkan beberapa pengurus PHMJ, GP, PKP, PKB dan jemaat setempat. Lepas dari sambutan meriah Pdt. Nico, kami lalu makan malam bersama, berfoto bersama, dan melanjutkan istirahat malam untuk menyambut kegiatan di pos pelkes kedua esok harinya.
 
Selasa, 5 Februari 2013
            Jam 9 pagi saya beserta rombongan ABSP memulai perjalanan menunju pos pelkes milik GPIB Pelita Kasih di Sangatta, yaitu Pos Pelkes GPIB “Getsemani” di Desa Tepian Indah (dulu bernama Tepian Langsat), Bengalon. Sebelumnya kami berfoto bersama KMJ, PHMJ dan GP GPIB Pelita Kasih di halaman gereja.
            Di tengah perjalanan menuju Desa Tepian Indah, kami sempat mampir di pusat pertambangan batubara Kalimantan milik PT Kaltim Prima Coal (KPC) PIT J (salah satu anak perusahaan PT Bumi Resources [Tbk.]). Area batubara ini mendapat sedikit penjelasan dari Bpk. Sinrang G. Naiola, salah satu staf sekaligus kepala keamanan PT KPC PIT J ini. Dan salah satu kantor cabangnya ada di samping gereja GPIB Getsemani di Tepian Indah, Bengalon yang nantinya kami datangi. Setelah mendapat ilmu baru tentang batubara Kalimantan ini, kami pun berfoto bersama dengan latar suasana pertambangan yang begitu luas. Dan kami pun melanjutkan perjalanan menuju Bengalon.
            Perjalanan ditempuh dalam waktu tiga jam lamanya. Pkl. 12.45 wita kami akhirnya tiba di Pos Pelkes GPIB Getsemani, Desa Tepian Indah, KM. 106, Kec. Bengalon, Kab. Kutai Timur. Kami disambut dengan sangat antusias oleh beberapa penduduk setempat yang juga jemaat Getsemani sekaligus pengurus dan anggota PKB dan PKP setempat bersama anak-anak mereka yang juga bagian dari PT Getsemani. Setelah bertemu dan berkenalan dengan mereka, ternyata mereka bukan asli orang Dayak, melainkan dari Alor, Nusa Tenggara Timur yang transmigrasi ke Bengalon, Kalimantan Timur. Cukup menarik orang Timur ada di tanah Borneo, sesuatu yang menyenangkan hati bisa berkenalan dan bercengkerama dengan mereka. Ternyata salah dua dari seluruh peserta ABSP ini ada yang dari Alor juga. Mereka dari GPIB yang ada di Makassar. Cukup dekat Makassar dengan Pulau Alor.
            Lalu kami mulai makan siang, dilanjutkan istirahat sejenak melepas lelah karena perjalanan jauh, di ruang gereja yang memang sudah dipersiapkan untuk berkumpul para peserta ABSP. Sore menjelang malam, kami duduk bersama di ruang gereja untuk mendengarkan sambutan dari Pdt. Lolita Usmany. Lepas dari sambutan kak Lita, sapaan akrab Pdt. Lolita U., sambil menunggu makan malam kami mendendangkan beberapa buah lagu rohani yang biasa dimainkan di ibadah Sekolah Minggu, juga dari Kidung Ceria (KC). Setelah siap, kami berdoa bersama untuk santapan yang tersedia, lalu makan bersama di tenda khusus untuk tempat makan (persis di samping tenda tidur untuk peserta laki-laki). Ya, ketika kami tiba di pos pelkes ini, empat tenda milik TNI sudah berdiri rapih di samping kiri halaman gereja, walaupun tanahnya masih becek berlumpur akibat bekas hujan. Jadi, sejak menginap di pos pelkes ini, ke mana pun kami jalan kami harus hati-hati melangkah di tanah basah ini. Empat tenda itu terdiri dari dua tenda laki-laki, satu tenda untuk peserta perempuan, dan satu tenda ruang makan. Tempat mandi pun langsung dibuat dua berdiri di samping kanan ruang gereja, untuk laki-laki dan untuk perempuan. Ditambah satu toilet yang memang sudah ada di gereja ini terletak di belakang gereja.
            Kelar makan malam, kami berkumpul lagi di ruang gereja untuk selanjutnya bermain game. Game yang biasa dilakukan oleh anak-anak Sekolah Minggu, untuk menambah keceriaan para peserta ABSP yang masih dirundung lelah karena perjalanan jauh. Setelah puas, Bung Oweth dan Bang Rino mengadakan sesi refleksi tanya-jawab perihal kegiatan ABSP ini kepada para peserta. Duo punggawa Dewan GP ini mengajak saya dan teman-teman GP memberikan uneg-uneg, masukan, kritikan dan pertanyaan serta saling sharing seputar kegiatan ABSP ini setelah sampai pada hari ke empat kegiatan, walaupun masih ada empat hari lagi kegiatan ini selesai. Memang selama empat hari ini saya bersama peserta ABSP lainnya sudah cukup mendapatkan pengalaman berharga selama bekerja bakti di pos pelkes tertentu, makanya ada beberapa juga yang memberikan uneg-uneg dan masukannya, termasuk saya yang mencoba bertanya-jawab perihal kegiatan ini sambil sharing. Dilanjutkan dengan tambahan masukan dari Mas Kasto, panggilan sehari-hari Pak Yohanes Kasto. Tak ketinggalan sharing tentang jiwa pelayanan para pengurus dan anggota GP oleh kak Okta Rumpak melalui teori Motivator yang dimilikinya. Teori Motivator yang saya pelajari dari kak Okta adalah bagaimana pemuda Kristen perlu dan terus memanfaatkan jiwa pelayanan yang Tuhan berikan dengan gigih melaksanakan amanat Tuhan lewat pelayanan bergereja dan bermasyarakat, tanpa takut menghadapi panas, hujan, badai, apapun yang banyak rintangan menghadang, apalagi kalau diberi tugas dan tanggung jawab sebagai pengurus organisasi kepelayanan di gereja. Dengan mampu memotivasi diri sendiri untuk melayani, maka ia juga bisa memotivasi orang lain untuk bekerja sama memberikan pelayanan yang terbaik buat Tuhan. Itulah yang saya tangkap dari teori tersebut.
            Selesai refleksi dan tanya-jawab soal ABSP, ada briefing dari panitia untuk kegiatan esok harinya. Setelah itu doa tidur bersama, dan kami semua istirahat untuk kegiatan esok hari.
 
Rabu, 6 Februari 2013
            Sarapan bersama menandai kegiatan pagi hari ini. Setelah briefing singkat, kami mulai bekerja.
            Seperti biasa, peralatan kerja bakti tetap disiapkan panitia seperti sarung tangan, parang, pacul dan cangkul. Kacamata hitam untuk menahan silau matahari, masker untuk menghindari debu, sepatu boots untuk menahan ranting-ranting berduri, dan tentunya pakaian kerja bakti, sudah dipersiapkan oleh saya dan teman-teman ABSP. Pekerjaan yang dilakukan adalah menanam puluhan tanaman sawit di lahan sawit yang jaraknya cukup jauh dari gereja Getsemani dengan 15 menit berjalan kaki (kira-kira 1,5 km jaraknya). Pekerjaan menanam sawit jadi sesuatu yang menyenangkan di tengah kelelahan kami mengangkat puluhan tanaman sawit, menggali lubang, dan menanamnya kembali. Apalagi dibantu oleh sebagian kecil bapak-bapak PKB jemaat Getsemani yang memang bekerja di ladang sawit ini. Cuaca matahari menemani kami berpanas-panasan di lahan yang luasnya 13 hektar ini, lebih luas dari luas lahan Gaharu (kurang lebih 4,5 hektar). Lahannya dipenuhi rerumputan, ranting-ranting patah, beberapa pohon yang ditebang, yang sebagian kecil hangus terbakar. Desa Tepian Indah ini memang dikenal dengan lahan sawitnya yang luas dan banyak. Tak heran dengan memanfaatkan lahan sawit ini sebagai mata pencaharian penduduk setempat, hasil produksi sawit yang dibawa ke daerah-daerah dan diekspor ke luar kota/negeri ini bisa untuk membangun beberapa sekolah dasar untuk anak-anak kurang mampu, yang memang sudah dalam tahap berkembang pendidikannya.
            Dari jam setengah sembilan pagi wita, pekerjaan berlangsung selama hampir enam jam. Jam dua siang wita kami selesai untuk sementara. Beristirahat untuk makan siang, kerja bakti ini dilanjutkan besok pagi.
Namun, setelah acara makan siang, tiba-tiba berita duka menghampiri kami semua. Ibunda salah satu pengurus GP GPIB Pelita Kasih, Sangatta, Sdri. Christien Pailaha, baru saja dipanggil Tuhan di Manado pagi harinya. Kami terkejut. Christien yang juga sedang bersama-sama dengan kami di pos pelkes Getsemani ini tak kuasa menahan kesedihan yang mendalam. Bahkan peserta perempuan pun banyak yang meneteskan air mata. Untuk itu, kami semua berkumpul di halaman gereja untuk menyatakan rasa belasungkawa yang sedalam-dalamnya, sambil menyanyikan Kidung Jemaat (KJ) 410 “Tenanglah Kini Hatiku” dan KJ 388 “S’lamat di Tangan Yesus” mengiringi perjalanan pulang Christien ke Manado. Kami semua sempat mengumpulkan kolekan untuk dibawa oleh Christien. Dana yang terkumpul berjumlah Rp. 2. 037.000. Semoga bisa digunakan sebagaimana mestinya. Doa kami untuk perjalanan Christien dan untuk keluarga Christien yang ditinggal oleh ibundanya.
Setelah Christien pergi dan keadaan kembali tenang, menjelang malam, tepatnya jam tujuh malam wita, ada ibadah keluarga yang biasa diadakan oleh gereja ini tiap Rabu malam. Tak lupa di ibadah ini saya dan beberapa teman GP turut mengisi pujian. Ternyata banyak juga yang ingin mengisi pujian selain grup saya. Tercatat ada lima grup vokal yang mengisi pujian di ibadah ini. Bahkan ada 2-3 teman GP yang sampai dua kali mengisi pujian dengan grup vokal yang berbeda, termasuk saya. Di ibadah ini saya mengisi pujian bersama dua grup vokal dadakan berbeda (karena baru dibentuk beberapa jam sebelumnya dan baru latihan lagu-lagunya), masing-masing satu lagu pujian. Yang pertama “Cinta Sejati” dan yang lainnya “Arbab”. Ibadah dipimpin oleh Pdt. R. Marbun. Ketika ibadah, saya baru tahu ternyata setiap ibadah Minggu, ibadah keluarga, dan ibadah pelkat, gereja ini tidak menggunakan bangku untuk jemaat. Hanya beralaskan tikar atau terpal untuk duduk bersila. Benar-benar suasana pedesaan yang mengharukan. Bagaimana pun mereka duduk tanpa bangku atau kursi, antusias untuk mengikuti ibadah di pos pelkes ini tetap terjaga, karena memang bukan bangku yang dicari, tapi Tuhan Allah sendiri.
            Yohanes 1: 43-51 melingkupi ibadah ini, yang isinya berintikan keseimbangan antara niat dan usaha dalam melakukan sesuatu yang positif, di mana manusia harus bergerak mengikuti niatnya agar ada keseimbangan hidup. Niat tanpa usaha sama dengan nol. Usaha tanpa niat sama dengan sia-sia belaka. Tak ada niat dan usaha, hidup terasa hampa. Dengan niat diimbangi usaha, apapun akan berhasil. Begitulah pemimpin muda Kristiani bersikap dalam menjalankan pelayanannya di keluarga, gereja dan masyarakat, juga di pendidikan dan pekerjaannya. Itu yang saya pelajari dari Firman untuk khotbah ini. Setelah ibadah selesai, ada bingkisan menarik dari Dewan PT yang dikirim langsung dari Jakarta ke Tepian Indah ini, khusus diberikan kepada anak-anak kecil atau anak-anak layan PT pos pelkes gereja Getsemani ini, yang ikut ibadah rumah tangga atau ibadah keluarga ini. Bingkisan diberikan oleh Bung Oweth dari Dewan GP kepada salah satu pengurus atau pelayan PT sebagai hadiah bagi anak-anak kecil yang hidup di pedalaman, berada di bawah garis kemiskinan, kurang mendapat pendidikan, tapi ada hati untuk mau bersekolah Minggu di gereja, mau melayani Tuhan hingga tua nanti. Sangat mengharukan. Bingkisan berupa seperangkat alat tulis untuk membantu mereka menyelesaikan pendidikan hingga mencapai cita-cita yang sudah mereka gantung di langit Borneo ini.
            Tak disangka dua peserta ABSP perwakilan GP dari GPIB Marga Mulya Yogyakarta turut juga memberi sesuatu yang berharga buat anak-anak kecil ini, terlebih buat gereja Getsemani ini. Tak kalah menarik, hadiah berupa miniatur Candi Prambanan khas Yogya untuk dipajang di ruang ibadah, sebagai kenang-kenangan persaudaraan sesama GPIB beda pulau. Hadiah diberikan langsung oleh rekan GP perwakilan GPIB Marga Mulya Yogya kepada kak Lita (Pdt. Lolita Usmany). Setelah semua itu, tentu saja sesi berfoto bersama anak-anak kecil tidak terlewatkan.
            Setelah itu ada acara makan malam bersama. Kembali kami berkumpul di tenda makan untuk makan malam bersama. Kelar makan malam, kami berkumpul lagi di ruang ibadah untuk mengikuti sesi hiburan. Kami kembali mendendangkan lagu pujian, lengkap dengan gerak tari. Sangat menghibur. Ada juga games menarik untuk dimainkan bersama-sama. Semua ini dilakukan semata untuk memperkuat keakraban sesama peserta ABSP.
Juga ada yang berulang tahun pada hari itu juga. Christoffer Wantania, akrab disapa Toji, dari GPIB Trinitas Cibubur, dan Johanes Dwi Cahya, biasa dipanggil Joni, dari GPIB Immanuel Malang, sama berulang tahun ke-21 hari Rabu 6 Februari 2013 ini. Lilin dan sejumlah roti dalam satu wadah kecil menjadi penanda bahwa saya dan teman-teman GP mengucapkan selamat ulang tahun kepada dua teman kami ini.
            Kelar sesi hiburan, hujan mulai turun di daerah Tepian Indah. Di tengah hujan, di dalam ruang gereja, ada pengumuman dari Bung Oweth tentang rencana dibentuknya Gerakan Pemuda GPIB pecinta alam. Maka setelah sekilas briefing untuk esok hari dari panitia, sesaat setelah hujan reda, beberapa dari kami yang sudah mendaftar untuk ikut GP GPIB pecinta alam, termasuk saya, tetap stay di ruang gereja, sementara yang lain kembali ke tenda untuk istirahat. Kami berkumpul lagi untuk membahas rencana ke depan pengadaan GP GPIB pecinta alam ini, termasuk pemberian nama dan tujuan adanya gerakan ini. Namun, karena proses berjalan cukup panjang hingga larut malam, maka untuk sementara naman yang digunakan adalah Gepala atau Gerpala, singkatan dari Gerakan Pemuda Pecinta Alam. Kelanjutan pembahasan dan pembentukan gerakan ini akan coba dilanjutkan esok hari atau waktu lain yang belum ditentukan. Maka kami menutup malam ini dengan istirahat untuk persiapan esok hari.
 
Kamis, 7 Februari 2013
            Hari terakhir penanaman pohon sawit. Diawali dengan sarapan pagi, langsung berangkat jalan kaki menuju lahan sawit yang sama di hari sebelumnya. Selain menanam sisa tanaman sawit yang belum sempat di tanam di hari sebelumnya, ada juga kegiatan berupa pembersihan lahan yang tertutup rumput tinggi dan ranting-ranting berduri yang berserakan, masih tetap dibantu bapak-bapak PKB jemaat Getsemani, masih dengan siraman cuaca matahari yang kali ini agak bersahabat, tidak terlalu panas dan sedikit berangin.
            Setelah kurang lebih tiga jam kami bekerja, kerja bakti kami di lahan Sawit usai sudah, dengan rincian 266 bibit Sawit untuk 2 hektar lahan dan 11 hektar lahan siap ditanami.
            Setelah semua selesai, sekaligus menandai berakhirnya kegiatan bakti sosial di dua lahan pos pelkes tersebut. Kami pun bersukacita karena tanpa terasa enam hari lamanya kami sudah melalui kerja bakti di dua lahan (Gaharu dan Sawit) yang jaraknya jauh sekali satu sama lain. Itu tandanya ABSP di Samarinda sudah selesai, tinggal kegiatan penutup sekaligus perpisahan yang sudah direncanakan sebelumnya. Kami pun merayakannya dengan berfoto bersama. Setelah itu, sebelum kembali ke gereja Getsemani, beberapa dari kami termasuk panitia mampir dulu di air terjun kecil di samping belakang lahan sawit. Senang-senang bermain air pun kesampaian juga. Kurang lebih setengah jam bermain di air terjun tersebut, kami lalu kembali ke gereja Getsemani sambil berfoto-foto di jalan. Setelah istirahat sejenak, kami lalu mandi. Mandi di siang hari. Karena menurut jadwal, sore menjelang maghrib kami harus packing untuk kembali lagi ke GPIB Pelita Kasih. Kelar mandi, makan siang, lalu berkumpul di ruang gereja karena kak Lita ingin menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada kami peserta ABSP yang sudah berjerih lelah membantu bakti sosial di lahan sawit Tepian Indah, juga kepada Dewan GP, panitia, dan beberapa pendeta serta sebagian penatua/diaken yang turut serta membantu bakti sosial. Setelah itu, sesi foto bersama di depan gereja pun tak terelakkan. Biar menarik, foto bersama kami dibagi per mupel. Saya dan rekan GP saya dari satu mupel, mupel Banten, bernama Aldo “Ucok” Siahaan (GPIB Filadelfia Bintaro) pun ikut serta. Kami berdua mewakili mupel Banten berdiri di depan gereja membentangkan spanduk ABSP 2013 Samarinda. Rekan-rekan GP dari kota Makassar (mupel Sulsel-Bara) adalah mupel yang terbanyak pemudanya yang ikut ABSP kali ini. Ada juga foto bersama alumni ABSP 2012 Bangka. Di saat bersamaan, tugu kecil ABSP yang memang biasa dibuat setiap ada kegiatan ABSP tiap tahunnya, sudah selesai dibangun. Tak lupa saya pun menyempatkan diri berfoto bersama tugu kecil berdasar keramik hitam, bergambar logo GPIB dan logo Pelkat GP,  lambang ABSP berupa burung yang sedang terbang mengepakkan sayapnya sambil menahan dedaunan di paruhnya, dan bertuliskan“Aksi Bakti Sosial dan Pemberdayaan, Gerakan Pemuda GPIB, Desa Tepian Indah KM. 106 Sangatta, Kalimantan Timur 2 – 9 Februari 2013”. Semua diukir dengan tinta emas dan keramik itu ditempatkan di badan burung yang dibuat dari semen dan posenya mirip burung lambang ABSP. Dan tugu ini berdiri indah di depan halaman gereja, persis bagian kanan dalam jalan masuk ke halaman gereja. Tugu kenang-kenangan bahwa di tempat tersebut Pelkat GP antar GPIB pernah melayani masyarakat lewat ABSP ini. Saya pun tak kalah bangga menjadi bagian dari sejarah ABSP tersebut. Dan kawan-kawan GP lain pun tak mau kalah berfoto bersama tugu bersejarah tersebut.
            Saat itu juga bus-bus dan beberapa mobil pribadi dan sebagian mobil bak patroli sudah datang siap mengangkut kami semua kembali ke GPIB Pelita Kasih di Sangatta. Tak lupa kami semua bersyukur dan berterima kasih kepada penduduk yang juga jemaat beserta pengurus Pos Pelkes GPIB Getsemani atas kesediaanya menampung kami selama berkegiatan dua setengah hari, plus hidangan makan pagi, siang dan malam, yang selalu disiapkan tuan rumah. Rasa haru menyelimuti kami semua. Kami pun berjejer bersalam-salaman bersama mereka, berharap suatu saat akan bertemu dan kembali lagi ke desa penuh damai itu. Selama perjalanan, berbagai nyanyian senang-senang pun seolah menghantar kami beristirahat di dalam bus. Dan memang tak terasa perjalanan tiga jam itu akhirnya berakhir setelah kami tiba di Sangatta di GPIB Pelita Kasih. Dan di ruang yang waktu kami tempati untuk berkumpul dan tidur Senin sebelumnya, kembali kami pakai dan langsung tidur untuk menyambut hari esok.
 
Jumat, 8 Februari 2013
         Kegiatan hari Jumat ini 100% full of refreshing. Kami dijadwalkan jalan-jalan ke Pantai Teluk Lombok, salah satu obyek wisata yang ada di Sangatta. Pantai ini terletak di sebelah Pantai Teluk Perancis. Masih satu garis pantai. Pantai ini cukup terkenal di daerah Sangatta dan sekitarnya. Tak heran banyak juga penduduk kota Samarinda bahkan Balikpapan rela datang jauh-jauh sekedar menikmati keindahan pantai ini. Perjalanan dari gereja Pelita Kasih ke pantai ini hanya memakan waktu 20 menit dengan perjalanan bus. Kami pun menghabiskan waktu di pantai ini dengan bernyanyi riang, bercanda bersama, makan masakan padang, minum es kelapa muda, berenang ke sana-ke mari, dan hebatnya ada permainan Banana Boat juga. Saya pun ikut-ikutan bermain permainan ini. Terkadang bergantian duduk di Speed Boat untuk mengambil gambar atau foto teman-teman GP yang naik Banana Boat di belakang Speed Boat. Terasa sangat menyenangkan. Tak lupa juga musik reggae khas anak pantai saya mainkan bersama teman-teman GP. Cuaca kali ini sangat bersahabat. Tiada hujan, panas berangin pun jadi. Kesenangan yang dimulai pkl. 10.00 wita pun tak terasa berakhir pkl. 16.30 wita, karena menurut jadwal kami akan ikut ibadah penutup ABSP di gereja Pelita Kasih.
Setelah cukup puas bermain di pantai, dan kembali ke gereja, alih-alih langsung mandi, saya dan beberapa teman GP ingin berolahraga. Di sore hari itu, terlihat anak-anak kecil yang mungkin dari anak layan PA dan PT sedang bermain bola plastik di halaman depan gereja Getsemani. Tak ayal, hati pun ikut tergerak bermain bola bersama mereka. Lumayan berolahraga di tanah Borneo tak ada salahnya. Dengan mengajak beberapa teman GP, kami bermain bersama. Menyenangkan melihat anak-anak kecil ini begitu antusias bermain bersama kami. Mereka seolah membawa saya kembali ke masa lalu ketika saya masih kecil, bermain bola di mana pun saya pergi bermain. Menghabiskan masa kecil yang begitu indah untuk dikenang. Puas bermain bersama mereka, saya pun bergegas mandi. Ibadah penutup ABSP segera dimulai. Saya mencoba kesempatan mandi di rumah salah satu jemaat. Kebetulan air di kamar mandi gereja belum saatnya berfungsi. Banyak juga teman GP yang antre mandi di dua rumah jemaat. Benar-benar seperti kegiatan live in ala anak sekolah. Kelar mandi, ganti baju rapih buat beribadah, menuju ruang pertemuan tempat kami kumpul, lalu panitia membuka kesempatan kepada kami para peserta untuk mengisi puji-pujian di ibadah keluarga ini. Saya pun tak ketinggalan ikut mengisi pujian bersama teman-teman GP lainnya. Ternyata banyak juga yang ingin mengisi pujian. Luar biasa. Memang inilah GP GPIB yang selalu menunaikan puji-pujian bagi Tuhan, di mana pun berada.
Jam tujuh malam wita, ibadah dimulai. Di ibadah ini saya mengisi pujian sebanyak dua kali dengan dua grup vokal berbeda (persis seperti ibadah keluarga di Pos Pelkes GPIB Getsemani Tepian Indah, hari Rabu sebelumnya). Yang satu membawakan lagu “Ai Ho Do Tuhan” (“Kaulah Harapan” versi Bahasa Batak), satu lagi membawakan kembali lagu “Arbab” yang sempat saya dan beberapa teman GP bawakan di ibadah keluarga Pos Pelkes GPIB Getsemani Tepian Indah, dua hari sebelumnya. Pada ibadah penutup ABSP ini, Pdt. Nicodemus Boenga memimpin ibadah ini dengan Firman untuk bahan refleksi dari Yohanes 2: 13-25, yang inti dari isinya adalah selalu menghormati tempat di mana kamu berdoa pada BapaMu. Di Gereja, di rumah, di sekolah, di kampus, di kantor, di mana pun berada, kalau mengucap syukur sambil berdoa, maka di mana pun berada akan selalu dilindunginya. Jangan sesekali menganggap remeh rumah ibadah, sekalipun bentuknya kecil sekali. Selalu ada yang suci di antara yang kotor lainnya. Maka jangan merusak yang suci itu, kalau tidak mau tidak disucikan oleh Bapa di Surga.
Setelah ibadah, menjelang makan malam, hujan tiba-tiba mengguyur dengan derasnya, cukup lama. Sempat mati lampu juga. Untungnya ibadah sudah selesai, tinggal menunggu waktunya makan malam bersama. Dan saat semua sudah mulai makan bersama, hujan mulai berhenti dan lampu menyala kembali. Makan malam kala itu tak ubahnya seperti makan di sebuah acara pernikahan, diiringi musik dari keyboard gereja. Suasana yang tak luput dari foto-foto bersama itu.
Kelar makan, ada permainan khas ABSP, yaitu lomba gombal-gembel, permainan membuat rayuan gombal gaya remaja sekarang yang ditujukan kepada lawan jenisnya. Sangat seru bermain gombal-gembel ini. Saya pun tak ketinggalan ikutan membuat rayuan gombal yang semakin mencairkan suasana itu. Sangat menyenangkan. Seiring berjalannya waktu, tubuh tak bisa berbohong. Butuh istirahat karena lelah juga seharian refreshing sambil berolahraga. Maka setelah selesai permainan gombal-gembel, kami semua kembali ke ruang pertemuan untuk tidur. Ada juga beberapa yang memilih tidur di ruang gereja. Saya pun memilih ikut tidur di ruang gereja. Alasannya sederhana. Bisa charge battere ponsel, charge battere kamera, plus terhindar dari suara ketawa-ketiwi teman-teman GP yang berada di ruang pertemuan yang belum bisa tidur.
 
Sabtu, 9 Februari 2013
            Hari terakhir ABSP selesai.
          Kami semua akhirnya mengucapkan salam perpisahan dengan tim panitia lokal dan jajaran PHMJ serta hampir semua pengurus yang ada di GPIB Pelita Kasih Sangatta, lalu berfoto bersama, dan balik kembali ke GPIB Immanuel Samarinda tempat awal meeting point. Perjalanan jauh ini jadi tak terasa karena riuh rendah cerita-cerita yang terlontar dari kami masing-masing tentang seminggu penuh ber-ABSP ria, juga selingan nyanyian-nyanyian kecil yang mungkin tak akan terlupa oleh kami akan kebersamaan kami.
            Tiba di Samarinda di gereja Immanuel, sebagian dari peserta ABSP memilih tetap di gereja karena ada yang langsung pulang ke pulau Sumatera, pulau Sulawesi, ada juga yang balik ke daerah lain tapi tetap di Samarinda. Bahkan ada yang bermalam dulu 1-2 hari baru pulang. Karena mengejar jadwal keberangkatan malam pesawat, saya memilih langsung menuju Balikpapan bersama beberapa rekan ABSP yang nantinya ada yang berangkat bersama saya, ada yang tinggal sementara di GPIB Immanuel Balikpapan. Teman-teman ABSP lain yang stay di Samarinda melepas kepergian kami dan berjanji untuk saling berhubungan lewat sosial media, rasa haru kembali datang menghampiri. Bahkan hingga di perjalanan ke Balikpapan pun seperti tak ada lagi cerita tersisa di ABSP ini. Masih setia dalam canda tawa dalam satu bus. Sekali lagi, perjalanan menjadi tak terasa ketika sudah sampai di depan gereja Immanuel Balikpapan, dengan latar belakang Sungai Mahakam yang indah. Sebagian dari kami harus melepas diri karena turun untuk sementara menetap di Balikpapan. Tangis dan tawa mewarnai perpisahan ini. Kami pun sepakat jikalau Tuhan mengizinkan akan bertemu lagi suatu hari nanti. Dan saya beserta rombongan sisa yang sudah pasti satu pesawat berangkat pulang ke Jakarta, langsung berangkat menuju Bandara Sepinggan.
            Suasana keakraban yang saya rasakan begitu menyentuh hati ini. Selama seminggu berada di pulau Kalimantan, tepatnya di Samarinda dan pedalaman hutan Kalimantan, banyak hal yang dapat saya lihat, dengar dan rasakan. Saya seperti menemukan keluarga baru di ABSP ini.
            Walaupun kami berpisah jauh antar pulau, itu tak akan mengurangi semangat kami melayani Tuhan. Saya percaya, Tuhan yang akan menjawab kapan saya bisa bertemu lagi dengan teman-teman GP yang sungguh luar biasa ini. Ibarat kata salah satu teman ABSP saya, kami ini adalah Militan Squad, kelompok yang tak pernah lelah bekerja di ladangnya Tuhan serta melayani sepenuh hati pelayanan di masyarakat melalui ABSP ini.
            Pukul 20.00 wita, saya beserta rombongan yang menuju ke Jakarta (orang-orangnya hampir sama persis seperti waktu pergi dari Jakarta ke Balikpapan) berangkat menggunakan pesawat Lion Air. Total kami pulang berdua belas orang, selain saya antara lain dari GPIB Bukit Moria Jakarta, Menara Iman Jakarta, Kharis Jakarta, Paulus Jakarta, Cinere Depok, Pancoran Rahmat Depok, dan Filadelfia Bintaro. Pkl. 21.00 wib (perjalanan 1 jam 55 menit dengan perbedaan waktu Balikpapan dan Jakarta satu jam lebih cepat Jakarta) kami semua tiba dengan selamat di Bandara Soekarno-Hatta, dan berpisah saat itu juga satu dengan yang lain.

          Di depan sudah menanti kegiatan GP yang mungkin bisa menjadi ajang reuni keluarga ABSP. Sekarang saya harus melanjutkan pekerjaan yang tertunda dan meng-aktif-kan lagi pelayanan di gereja yang sempat off selama seminggu karena pelayanan ABSP di masyarakat.
Bersyukur dan berterima kasih atas penyertaan Tuhan saya bisa diberi kesempatan melayani di masyarakat, selain di keluarga dan di gereja. Ungkapan ini juga saya tujukan ke KMJ saya Pdt. Irdian Soelistyantoro beserta PHMJ gereja saya atas kesediaan mengutus saya di ABSP kali ini, serta dukungan penuh rekan-rekan anggota dan pengurus GP. Melalui tulisan ini juga saya mewakili teman-teman GP peserta ABSP menyampaikan terima kasih kepada Kombes Pol. Wilder Pattirane yang sudah menyediakan lahannya untuk kami bekerja bakti.
Big thanks for all my friends of ABSP, our weekly works finally done.
Semoga pelayanan ini akan terus berlanjut.
Tuhan memberkati.
 
 
 
                                                                                                                           Jakarta, 11 Februari 2013
 
                                                                                                                         Jaya Simanjuntak
                                                                                                      Pengurus Pelkat Gerakan Pemuda GPIB
                                                                                                               Jemaat “KARUNIA” Ciputat
                                                                                                                                  Banten