Showing posts with label Info. Show all posts
Showing posts with label Info. Show all posts

Thursday, August 29, 2013

Sejarah Daerah di Sulut: Asal Usul Manado, Siau dan Sangihe Talaud

MEMAHAMI Sulut tak akan lepas dari keberadaan tiga wilayah budaya yang membentuk karakter masyarakatnya. Nasrun Sandiah, antropolog dari Universitas Sam Ratulangi, memilah ketiga wilayah budaya tersebut ke dalam tiga suku bangsa yang mendiami Kepulauan Sangihe dan Talaud, Bolaang Mongondow, dan Minahasa.

Dari ketiga wilayah budaya tersebut, masyarakat di Kepulauan Sangihe dan Talaud dan Bolaang Mongondow mempunyai akar sejarah yang panjang dalam bentukan kerajaan. Catatan sejarah menunjukkan, sebelum tahun 1500 Kerajaan Tabukan, Bohontehu, Kendahe, Tahuna, Manganitu, Siau, dan Tagulandang, tumbuh di sepanjang Kepulauan Sangihe dan Talaud.

Sementara di wilayah Bolaang Mongondow, terdapat Kerajaan Bolaan Uki, Kaidipang, Bintauna, Suwawa, dan Bone. ”Kerajaan-kerajaan di Bolaang Mongondow umumnya penganut Islam dan kerajaan di Sangihe dan Talaud penganut Kristen atau Katolik,” kata Nasrun.

Karakter khas yang melekat di wilayah-wilayah kerajaan juga tampak di kedua wilayah budaya ini. Sifat paternalis maupun kepatuhan yang kuat terhadap pemimpin, misalnya, menjadi karakter masyarakat. ”Kalau pemimpin itu bilang apa, itu akan sampai ke bawah,” ungkap Nasrun. Kondisi demikian tak terhindarkan munculnya pengkultusan terhadap pemimpin sebagaimana di Bolaang Mongondow. ”Bupati masih dikultuskan sampai saat ini,” imbuh Nasrun.

Berbeda di wilayah kerajaan, berbeda pula karakter di wilayah yang tidak dijumpai kerajaan. Minahasa dalam sejarahnya tidak pernah mengenal sistem kerajaan.

Masyarakat di kawasan ini terhimpun dalam walak yang merupakan sebuah komunitas sosial masyarakat tradisional terdiri atas kumpulan beberapa permukiman. Dengan tidak adanya raja atau pemimpin yang harus dihormati dan dianuti masyarakat, menurut Schouten dalam Leadership and Social Mobility in a South Asia Society: Minahasa 1677-1983, hubungan sosial masyarakat Minahasa umumnya didasarkan pada sikap kompetitif dan egaliter.

Cerita Mokodoludut dari orang Sangir yang ditulis oleh orang Amerika yang dipresentasikan di Universitas California oleh Kheneth, diterbitkan dalam tiga bahasa.

SEJARAH KERAJAAN BOWONTEHU
Pada tahun 800-san Masehi di Cotabato Mindanauw sekarang Filipina dahulu ada sebuah kerajaan suku bangsa negrito yang dipimpin oleh seorang Kulano(raja). Kerajaan ini diserang oleh suku bangsa Mongolia, akan tetapi seorang anak raja yang bernama Humansandulage beristeri Tendensehiwu berhasil meloloskan diri beserta para pengikutnya antara lain Batahasulu atau Manderesulu orang sakti kerajaan yang memeliki papehe(ikat pinggang dengan ukuran satu jengkal), lenso (saputangan), dan paporong (ikat kepala). Dengan melemparkan ikat pinggang berukuran satu jengkal kelaut yang kemudian menjelmah menjadi Dumalombang atau ular naga besar. Dumalombang membawa mereka ke Selatan lalu tiba di daerah Molibagu. Ditempat ini mereka berkabung sambil menangis selama empat puluh hari empat puluh malam. kemudian mereka berikhar menjadi suku bangsa yang baru yaitu Suku Bangsa Sangihe. Setelah masa perkabungan berakhir mereka hidup menetap dihutan yang terletak di sebuah puncak bukit lalu mendirikan sebuah kerajaan yang bernama Wowontehu/Bowontehu. Bowontehu berasal dari bahasa Sangihe yaitu Bowong artinya atas dan Kehu artinya hutan. Jadi Bowontehu adalah kerajaan yang terletak diatas hutan. Humansadulage sebagai Kulano (Datu/Raja) dan Tendensehiwu sebagai Boki (Permaisuri). Humassadulage dan Tendensehiwu memperanakan Budulangi. Budulangi bersiteri Putri Ting yang berasal dari khayangan. Budulangi dan Putri Ting memiliki seorang anak perempuan yang bernama Toumatiti. Toumatiti hamil dari seorang Pangeran yang datang dalam mimpinya, Maka lahirlah seorang putra diberi nama Mokodoludud. Mokodoludud yang artinya Pangeran dari khayangan. Mokodoludud menikah dengan Bania yang keluar dari buluh tipis kuning ditemukan dihutan oleh pasangan suami istri yaitu Sanaria dan Amaria lalu dipelihara.

Pada Suatu ketika Tahun 1000-an Masehi terjadi pergolakan perang disana-sini sehingga Mokodoludud beserta para pengikut yang setia meninggal Molibagu lalu tiba di Pasang Bentenan di baling-baling yaitu tempat yang bernama Posolo berada disebelah timur Malesung atau Minahasa sekarang disebut Lembe. Ditempat ini mereka tinggal tidak lama sebab diserang oleh Suku Mori, Laloda dan Mangindanouw. Mokodoludud dan rombongan mengungsi ke sebuah gunung dengan jalan mengintari (belitan) lalu tempat itu disebut Lokong. Baunia melahirkan seorang putra bagi Mokodoludud lalu diberi nama Lokonbanua. Kemudian Mokodoludud ingin mencari tempat seperti pasang bentenan lalu berangkat dan tiba di pulau Manarauw (Manado Tua). Kata Manarou berasal dari bahasa Sangir yaitu Mararau; Marau yang artinya Jauh.

Mokodoludud membangun kembali kerajaan Bowontehu dengan pusat pulau Manarouw dengan gelar Kulano. Di Manarouw ini Mokodoludud dan Baunia dikaruniai lagi anak yang bernama, Jayubangkai, Uringsangiang dan Sinangiang. Penduduk kerajaan ini berkembang bertambah banyak sehingga sebagian mendiami daerah bagian utara dataran pulau Sulawesi yaitu Gahenang/Mahenang nama kuno untuk Wenang berasal dari bahasa Sangir Tua yaitu artinya api yang menyala/bercahaya/bersinar(suluh, obor, api unggun). Perpindahan dilakukan dengan menggunakan perahu (Bininta), melalui tempat yang bernama Tumumpa berasal dari bahasa Sangir yang artinya turun sambil melompat,kemudian menetap di Singkil berasal dari bahasa sangir Singkile artinya pindah/menyingkir. Mereka menyebar sampai ke Pondol bahasa Sangir disebut Pondole artinya di ujung. Wilayah kerajaan Manarouw sesuai memori Padtbrugge disebut menurut nama asalnya meliputi : P. Manado Tua, P. Siladeng, P. Bunaken, P. Mantehage, P. Nain, P. Talise, P. Gangga, P. Bangka dan P. Lembeh serta daerah pesisir pulau Sulawesi. .***[Sumber tulisan: Buku karya Shinzo Hayase, Domingo M. Non, dan Alex J. Ulaen yang berjudul “SILSILAS/TARSILAS (GENEALOGIES) AND HISTORICAL NARRATIVES IN SARANGGANI BAY AND DAVAO GULF REGIONS, SOUTH MINDANAO, PHILIPPINES, AND SANGIHE-TALAUD ISLANDS, NORTH SULAWESI, INDONESIA” halaman 251-252]. Penduduk Kerajaan Bowontehu/Manarouw adalah orang sangir (Graafland, Minahasa masa lalu dan masa kini, terjemahan Joost Kulit).

Pada suatu ketika kembali Mokodoludud memerintahkan rakyatnya membuat perahu(Bininta), setelah selesai pembuatannya maka diuji kemampuan untuk mengapung, mendayung serta berlayar dari perahu. Kapal tersebut memuat putra-putri raja yaitu Lokonbanua, Uringsangiang, Sinangiang beserta Batahalawo, Manganguwi, Bikibiki, Banea dan Tungkela. Raja Mokodoludud berpesan kepada anak-anaknya agar selama dalam pelayaran tidak boleh mengeluarkan sepatah katapun, akan tetapi Sinangiang lupa ketika melihat sebuah pulau lalu bertanya pulau apakah itu ?. Maka tiba-tiba badai mengamuk sehingga terdampar di pulau Tagulandang, Siau dan Sangir. Ditempat ini Uringsangiang dan Sinangiang menangis terus menerus sehingga tempat ini disebut Sangihe yang bersasal dari kata Sangi, Sangitang, Masangi, Mahunsangi artinya menangis. Mereka hidup dan menetap ditempat ini, Lokonbanua menikah dengan Sinangiang.

Pada tahun 1380 seorang pedagang arab bernama Sharif Makdon setelah mengunjungi ternate lalu tiba di Manarouw(Manado Tua) menyebarkan Agama Islam kemudian berangkat ke Mindanouw. Kemudian jalur ini diikuti oleh pelaut asal Portugis Pedro Alfonso pada tahun 1511, Pedro Alfonso menemukan Ternate, setelah itu armada dagang asal Portugis secara resmi mengirimkan Antonio de Abreu ke Maluku tahun 1512. Pada tahun itu juga Portugis mengirimkan tiga kapal layar ke Manarouw,(Pulau Manado Tua).

Lokon Banua II (leken artinya nama yang diangkat kembali) adalah keturunan kesembilan dari Raja Mokodoludud Kulano(raja) Bowontehu. Berlayar dari Manarouw bersama dengan pengikutnya pergi ke pulau Siauw lalu mendirikan kerajaan Leken Banua II atau Karangetang pada tahun 1510. Lokongbanua II Keturunan ke 9 dari Raja Gumansalangi putra raja Tumondai dengan Boki Bitang Keramat kakak kandung pendiri Kiraha (Kedatuan ternate) dari Cotabato di Mindanauw Philipina Selatan Pendiri Kedatuan Tampung Lawo abad 12 serta cucu dari Datu Hinbawo I dari kerajaan Sulu beristrikan Sangiang nilighidé dan mempunyai anak perempuan, Umbongduata namanya. Umbongduata ini jadi salah satu isteri dari Datuk Pahawonsulugé, lalu mempunayai anak Lokongbanua II

Bangsa barat yang pertama-tama menemukan Manarouw ialah pelayar Portugis Simao d’Abreu pada tahun 1523.

Nama Manarow dicantumkan dalam peta dunia oleh ahli peta dunia, Nicolas_Desliens‚ pada 1541. Manarouw menjadi pintu gerbang transit kawasan timur Indonesia bagi kapal-kapal dagang bangsa asing, sehingga menjadi daya tarik bagi pedagang Cina.

Pada tahun 1563 Peter Diego de Magelhaes dari Portugis berangkat dari Ternate menuju Manarouw mengajarkan pokok-pokok iman Kristen. Lalu Raja Manarouw bersama rakyatnya 1500 orang dibaptis kesemuanya adalah orang Sangir. Baptisan dilakukan di muara sungai Tondano dan dihadiri oleh Raja Siauw bernama Possuma. Raja Possuma lalu memberi diri untuk dibaptis dengan nama Don Jeronimo (nama portugis) Kemudian Peter Diego de Magelhaes ke Kaidipan (pesisir utara Gorontalo) membaptis 2000 orang selama 8 hari.

Tahun 1570 Bulango dari kerajaan Bowontehu (pulau Manarouw) berlayar menuju Tagulandang. Bulango mempunyai seorang anak perempuan bernama Lohoraung mendirikan kerajaan Taghulandang atau Mandorokang di pulau itu bersama para pengikutnya. Bulango adalah saudara dari Lokongbanua II dimana keduanya adalah keturunan ke sembilan dari raja Mokodoludut dengan istrinya Baunia dari kerajaan Bowontehu.

Pada tahun 1585 Peter lain mengunjungi Manarouw ternyata iman Kristen telah lenyap kembali menjadi kafir. 1606 Spanyol merebut kembali Maluku Utara maka penyebaran agama Kristen kembali dilakukan di Ternate.

Pada tahun 1614 Spanyol memusatkan kekuatannya di Manarouw untuk menghadapi serbuan Belanda, dibangun sebuah benteng dipesisir kota itu yang berhadapan dengan pulau Manado Tua

1619 Penduduk Manarouw sebagian besar telah beralih agama menjadi islam. Oleh karena itu Misi Injil mengalihkan penyebaran ke pegunungan yaitu orang-orang dari suku pedalaman yang disebut alifuru lalu tiba Tomohon dan Tondano. Namun misi ini gagal, karena kedatangan misionaris dihubungkan dengan hasil panen. Saat itu panen tidak berhasil sehingga dikatakan dewa telah murka, para misionaris di usir. Seperti dalam surat Pater Blas Palomino tanggal 8 Juni 1619. Sebelum dia terbunuh di Minahasa pada tahun 1622, dia menulis mengenai sikap permusuhan para Walian pemimpin agama suku terhadap para Missionaris asal Spanyol. Juga Walian Kali yang menghasut kepala Negeri Kali bernama Wongkar untuk menolak dan melarang para Missionaris Spanyol untuk masuk ke pedalaman Minahasa.

Pada tahun 1623 Kerajaan Bawontehu yang berpusat di pulau Manarouw (Manado Tua) dipindakan ke Gahenang/Mahenang nama kuno Wenang berasal dari bahasa Sangir artinya api yang menyala atau bersinar (Suluh,obor), oleh karena dialek bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda mereka mengucapkan Wenang demikian juga dengan Manarouw disebut Manado. Kemudian Bowontehu/Wowontehu berubah menjadi Kerajaan Manarouw dengan raja bernama Laloda Daloda Mokoagow pada kurun waktu tahun 1644-1674. Penduduk kerajaan ini adalah orang sangihe (Graafland, Minahasa masa lalu dan masa kini, terjemahan Joost Kulit). Raja Loloda Daloda Mokoagow ini adalah anak dari Raja Tadohe. Sedangkan Tadohe sendiri adalah cucu dari Raja Siauw yang bernama Possuma dan cicit dari raja Tabukan (Rimpulaeng) Don Francesco Macaapo Juda I. Kerajaan Manarouw adalah sebagai kerajaan terjauh dari wilayah teritorial kerajaan Sangihe. Setelah Raja Laloda Daloda Mokoagow kemudian menjadi raja adalah Donangbala yang memiliki pedang sakti.

Suku Bantik bukan penduduk pertama yang mendiami Manarow menurut cerita Pada Tahun 1654 Salah satu kerajaan di Sangir yakni kerajaan Malingaheng Kendahe yang dipimpin oleh Raja Sahmensi Arang (Syam Syach Alam)mempunyai seorang anak bernama Putri Bulaeng Tanding. Kerajaan ini dengan wilayah bagian barat pulau sangihe hingga pulau Kaluwurang. Kerajaan ini tenggelam oleh karena peritiwa Dimpuluse (air jatuh dari langit)mereka terdampar di tempat yang bernama Panimbuhing. Bukti peristiwa ini adalah Tanjung Maselihe di dalam terkubur kursi emas dan makota raja konon katanya di jaga oleh ikan hiu. Dari peristiwa tersebut sebagian selamat termasuk seorang yang bernama Bantik. Kemudian mereka mengangkat Bantik sebagai pemimpin lalu berihkrar menjadi satu suku yang baru yaitu Suku Bantik, dengan catatan mereka tidak boleh hidup bersama dalam satu wilayah, agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Maka diatur kelompok-kelopok berlayar dengan perahu menuju ke Mindanao,ke Beo, ke kema, ke Belang,ke Manaraw, Leok-Buol sedangkan Bantik sendiri pergi ke Mongondow. Jadi suku Bantik merupakan anak suku dari suku Sangir.

Dalam surat Pater Juan Yranzo yag ditulis di Manila tahun 1645 menyebutkan tentang pengusiran Spanyol dari tanah Minahasa pada tanggal 10 Agustus 1644. Pengusiran tersebut mengakibatkan terbunuhnya Pater Lorenzo Garalda. Para Walian Minahasa menghasut masyarakat untuk membunuh semua Missionaris Spanyol. Rencana para walian bocor hingga para Missionaris Spanyol sempat mengungsi ke tepi pantai dan berperahu ke Siauw.

Tahun 1655 Pembangunan Benteng ‘De_Nederlandsche_Vastigheit‚’ dari kayu-kayu balok sempat menjadi sengketa sengit antara Spanyol dengan Belanda. Kos berhasil meyakinkan pemerintahannya di Batavia bahwa pembangunan benteng sangat penting untuk mempertahankan posisi Belanda di Laut Sulawesi. Dengan menguasai Laut Sulawesi akan mengamankan posisi Belanda di Maluku dari Spanyol. Setelah memperoleh dukungan sepenuhnya dari Batavia, Awal Tahun 1661 Kos dari Ternate berlayar menuju Manarouw disertai dua kapal perang Belanda, Molucco dan Diamant. Kekuatan ini mengalahkan Spanyol di Manarow. Tahun 1673 Belanda memapankan pengaruhnya di Manarouw dan merubah benteng semula dengan bangunan permanen dari beton. Lalu Benteng ini diberi nama baru, ‘Ford Amsterdam‚’ dan diresmikan oleh Gubernur VOC dari Ternate. Cornelis Francx‚ pada 14 Juli 1673 (Benteng terletak dikota Manado dibongkar oleh Walikota Manado pada 1949 - 1950).

Tahun 1675 Pendeta J. Montanus mendapati bahwa jemaat-jemaat di Manado sudah sangat lemah. Tahun 1677 VOC menetapkan Pendeta Zacharias Cacheing di Manado. Sampai tahun 1700 tidak banyak lagi pendeta yang mau datang ke Indonesia. Kekristenan pada masa VOC terjadi bukan karena keimanan tetapi karena tekanan politik. (Prof.Dr.I.H.Enklaar.Sejarah gereja ringkas,81,1966)

Pada tahun 1677 Compeni mengadakan perjanjian dengan Raja Siau dengan persaratan kesepakatan bahwa Raja serta rakyat harus beralih agama dari Kristen Katolik menjadi Protestan. Gubernur VOC Maluku, Robertus Padtbrugge ketika berada di Manado tahun 1677 mengatakan bahwa orang Sangir Tualah adalah penduduk pribumi yang pertama di Manado, yakni sekitar tahun 1332.

Manado bukan Minahasa,(sejarah Minahasa-Kontrak 19 Januari 1679 hal 61). Minahasa itu Malesung, disebut oleh orang Sangir Tau Kaporo (orang yang hidup digunung), sehingga orang Minahasa disebut orang gunung. Manarauw adalah wilayah toritorial dari kerajaan Sangihe-Talaud.

Perserikatan Pekabaran Injil Belanda Van der Kamp mendirikan NZG Tahun 1797. Tahun 1817 Pendeta Josep Kam berkunjung ke Minahasa. Tahun 1819 Lenting berkunjung ke Minahasa.Pendeta Josep Kam dan Ds. Lenting mendapati orang Kristen tidak ada pelayanan lagi,lalu mereka melaporkan keadaan itu pada NZG di Belanda. Pada tahun 1822 atas laporan diatas maka NZG mengirim 2 orang berkebangsaan Swiss, L.Lamers di Kema ( meninggal 1824 di Kema ) W. Muller di Manado (meninggal 1827 di Manado) Mereka meninggal karena penyakit Typus.Dalam pelayanan, mereka mengalamai banyak hambatan dan tantangan terutama dari kalangan turunan Eropa.Tahun 1827 pelayanan manado diganti oleh Ds. G. J. Helendoorn. 4 tahun kemudian tahun 1831 dikirim lagi 2 orang pelayan yaitu : Johann Friedrich Riedel dan Johann Gottlieb Schwars. Tahun 1855, NZG mengutus S.D. van der Velde van Capellen dari Minahasa ke Sangihe dan membaptis 5033 orang.Ketika itu S.D. van der Velde van Capellen sedang bertugas di Tareran,Minahasa.

Menurut Catatan Robertus Padburgge,1867, kerajaan Manarouw hancur akibat perang berkepanjangan dengan kerajaan Bolaang. Perang ini menyebabkan penduduk berserak sebagian ke pulau Sangir, Likupang dan Bitung. Menurut penuturan tua-tua bahwa sebagian orang sangir meninggalkan Manarouw akibat kekurangan makanan karena diserang oleh gerombolan kera serta adanya wabah penyakit. Penduduk yang kuat pergi ke Sangir, Likupang dan Bitung sedangkan yang sakit-sakitan mereka tetap tinggal menetap di Manarouw. Kerajaan ini di dalam buku Kakawin Negara Kerta Gama oleh Empu Prapanca tahun 1365 disebut sebagai Uda Makataraya. Wilayah kerajaan ini terpisah dari sejarah orang Sangir-Talaud setelah Belanda dengan VOC menguasai perdagangan wilayah ini dengan kontrak perjanjian yang ditanda tangani oleh raja-raja Siau (arsip Perpustakaan Sulut) dan pada tahun 1908-1912 Manado dan sekitarnya diserahkan oleh raja Siau XVIII bernama A.J. Mohede kepada Assisten Residen, serta pada tahun 1951 dimana Manado menjadi Daerah Bagian Kota dari Minahasa sesuai Surat Keputusan Gubernur Sulawesi tanggal 3 Mei 1951 Nomor 223. Tetapi hingga kini penduduk terbanyak di Kota Manado berasal dari Etnis Sangihe Talaud.(*)

(http://manado.tribunnews.com/2013/06/25/asal-usul-manado-siau-dan-sangihe-talaud)

Monday, March 4, 2013

Marga: Keluarga dan Kekerabatan dalam Pengetahuan Orang Batak Toba, Sumatera Utara

(sumber: http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2598/marga-keluarga-dan-kekerabatan-dalam-pengetahuan-orang-batak-toba-sumatera-utara)
Marga adalah istilah orang Batak Toba untuk menyebut leluhur induk dari silsilah keluarga dan kekerabatan mereka. Sebagai sebuah tradisi, marga telah menjadi identitas dan status sosial orang Batak Toba yang masih bertahan hingga kini.

1. Asal-usul

Suku Batak adalah salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia. Suku ini banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara, khususnya daerah di sekitar Danau Toba. Pada masa lampau, wilayah ini disebut sebagai Tano Batak, yang berarti daerah yang mengelilingi Danau Toba. Konon, sebenarnya Tano Batak itu meluas hingga sampai ke wilayah Aceh Selatan dan Aceh Tenggara. Hal ini terbukti dari adanya sebagian kalangan yang mengkategorikan orang Nias dan orang Aceh Gayo sebagai orang Batak. Tano Batak menjadi lebih kecil setelah pemerintah Belanda dengan sengaja memecah belah wilayah tersebut demi strategi penjajahan mereka (J.C. Vergouwen, 1986).
Suku Batak memiliki sub-sub suku yang terikat kuat antara satu dengan lainnya. Ada beberapa pendapat tentang jumlah sub-sub suku ini. Ada yang menyebut bahwa ada lima sub, yaitu sub suku Toba, Mandailing, Karo, Simalungun, dan Pakpak. Namun, ada juga yang menyebut sebelas, yaitu kelima sub tersebut ditambah dengan Pasisir, Angkola, Padang Lawas, Melayu,[1] Nias, dan Alas Gayo (Gens G Malau, 2000).
Suku Batak diikat oleh kelompok kekerabatan yang mereka sebut sebagai marga. Adapun kegiatan menelusuri silsilah garis keturunan marga disebut dengan istilah tarombo. Salah satu sub suku Batak yang masih menjaga tradisi marga dan tarombo hingga kini adalah Batak Toba. Suku ini tersebar di empat wilayah Tapanuli, Sumatera Utara, yaitu Toba, Silindung, Samosir, dan Humbang. Marga Batak Toba adalah marga pada Suku Batak Toba yang berasal dari daerah di Sumatera Utara, terutama yang tinggal di Kabupaten Tobasa yang wilayahnya meliputi Balige, Porsea, Laguboti, dan sekitarnya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 2005, halaman 716, mengartikan marga sebagai kelompok kekerabatan yang eksogam dan unlinear, baik secara matrilineal (perempuan) maupun patrilineal (laki-laki). Adapun masyarakat umum Batak mengartikan marga sebagai kelompok suku dan suku induk. Menurut Vergouwen (1986), jika melihat realitas yang terjadi di masyarakat Batak Toba sekarang, arti ini terlihat tidak sesuai dengan realitasnya karena bagi orang Batak Toba, marga juga dimaksudkan untuk menunjukkan satuan suku-suku yang lebih kecil dan kelompok yang lebih besar. Hal ini juga disebabkan oleh alur pokok dari struktur silsilah (tarombo) Batak Toba yang beragam.
Orang Batak Toba hingga kini masih meyakini bahwa marga dan tarombo penting untuk dicari dan diperjelas karena seluruh orang Batak meyakini bahwa mereka adalah Dongan-Sabutuha. Dongan-Sabutuha berarti “mereka yang berasal dari rahim yang sama” (Vergouwen, 1986: 1). Hal ini diperkuat juga dengan peribahasa Batak yang berbunyi Tinitip sanggar bahen huru-huruan/Djolo sinungkun marga asa binoto partuturan. Arti peribahasa ini adalah “untuk membuat sangkar burung, orang harus memotong gelagah. Untuk tahu hubungan kekerabatannya orang harus menanyakan marga”.
Keyakinan bahwa orang Batak Toba berasal dari rahim yang sama ini (satu marga dan tarombo) disebabkan oleh penetapan struktur garis keturunan mereka yang menganut garis keturunan laki-laki (matrilineal) yang brarti bahwa garis marga dan tarombo orang Batak Toba dteruskan oleh anak laki-laki. Jika orang Batak Toba tidak memiliki anak laki-laki, maka marga dan tarombo-nya akan punah. Adapun posisi anak perempuan atau perempuan Batak Toba adalah sebagai pencipta hubungan besan karena perempuan harus kawin dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain.

2. Konsep Marga

Orang Batak menganut falsafah kekeluargaan dan kekerabatan yang disebut dengan Tungku nan Tiga (tungku tiga kaki). Dalam bahasa Batak Toba, falsafah ini disebut Dalihan na Tolu (tungku posisi duduk). Falsafah ini mengajarkan kepada orang Batak Toba bahwa sejak lahir hingga meninggal kelak, orang Batak Toba harus jelas struktur hubungan kekeluargaan dan kekerabatannya. Falsafah Dalihan Na Tolu berisi tiga kedudukan penting orang Batak Toba dalam kekerabatan, yaitu Hula-hula atau Tondong, Dongan Tubu atau Sanina, dan Boru
  • Hula-hula atau Tondong adalah kelompok yang menempati posisi paling atas, yaitu posisi yang harus dihormati oleh seluruh orang Batak Toba. Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah pihak keluarga dari istri yang disebut sebagai Somba Marhula-hula.
  • Dongan Tubu adalah kelompok yang posisinya sejajar, misalnya teman dan saudara satu marga. Kelompok ini adalah kelompok yang rentan terhadap perpecahan. Untuk itu, budaya Batak Toba mengenal konsep Manat Mardongan Tubu, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.
  • Boru adalah kelompok yang menempati posisi bawah, artinya kelompok ini harus selalu dikasihi (Elek Morboru). Adapun yang termasuk kelompok ini adalah saudara perempuan dari marga suami dan dari pihak ayah.
Dalihan Na Tolu tidak mirip dengan konsep kasta dalam agama Hindu. Perbedaannya terdapat pada ketetapan setiap posisi dalam sistem ini. Posisi msasing-masing kasta dalam sistem kasta Hindu tidak dapat berubah. Sebagai contoh, jika seseorang lahir dalam posisi kasta Brahmana, maka demikian posisi seterusnya hingga dia meninggal kelak. Kasta Brahmana tersebut tidak dapat berubah menjadi Sudra misalnya. Sementara itu, posisi Dalihan Na tolu sangat bergantung pada konteksnya (berubah-ubah). Semua anggota masyarakat Batak Toba suatu ketika pasti akan mengalami menjadi Hulahula, Dongan Tubu, atau Boru. Sebagai contoh, salah satu anggota keluarga dari istri seorang bupati bisa jadi hanya menjabat sebagai camat, namun dalam sebuah upacara adat, si bupati tersebut harus mau mencuci piring untuk melayani keluarga istrinya karena keluarga istri masuk dalam kelompok atas (Hula-hula) dan si bupati masuk dalam posisi bawah (boru).
Semua orang Batak harus berperilaku seakan-akan sebagai “raja” berdasarkan falsafah kekerabatan di atas. Artinya, dalam struktur tata kekerabatan Batak Toba, orang harus berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak, bukan raja sebagai orang yang berkuasa. Maka dari itu, dalam setiap pembicaraan adat, sering terdengar sebutan Raja ni Hulahula, Raja ni Dongan Tubu, atau Raja ni Boru. Selain itu, penyebutan ini dimaksudkan untuk menghormati setiap posisi dalam Dalihan Na Tolu (semua orang Batak Toba dianggap sederajat).
Orang Batak Toba menggunakan dua model pengklasifikasian dalam menentukan marga seseorang, yaitu berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan wilayah permukiman (teritorial).

a. Berdasarkan keturunan (genealogis)

Orang Batak Toba meyakini bahwa bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan ini didasarkan pada silsilah (Tamboro) yang berujung pada Si Raja Batak. Berdasarkan keyakinan ini, maka semua orang Batak diyakini pasti memiliki marga.
Hal tersebut didasarkan pada sebuah kisah yang masih dipercayai hingga kini oleh Orang Batak Toba. Menurut kisah tersebut, Si Raja Batak adalah anak dari seorang perempuan yang bernama Si Borudeakparudjar. Si Borudeakparudjar sendiri adalah seorang keturunan dewata yang bernama Debata Muladjadi Nabolon. Suatu ketika, Debata Muladjadi Nabolon memerintahkan Si Borudeakparudjar untuk menciptakan bumi. Setelah menjalankan perintah dewata tersebut, kemudian Si Borudeakparudjar pergi dan tinggal di daerah yang bernama Siandjurmulamula. Konon, daerah ini terletak di lereng gunung Pusuk Buhit. Dalam perkembangannya, kelak daerah inilah yang akan menjadi tempat tinggal Si Raja Batak. Daerah ini juga diyakini sebagai tempat seluruh orang Batak berasal.
Si Raja Batak mempunyai dua orang putra, yaitu Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon. Dua orang putra inilah yang nantinya akan menurunkan seluruh orang Batak hingga sekarang ini. Orang Batak yang berasal dari keturunan Guru Tatea Bulan dikenal dengan sebutan Belahan (cabang) Lontung. Adapun orang Batak yang berasal dari keturunan Si Raja Isumbaon dikenal dengan sebutan Belahan Sumba.

1. Belahan Lontung

Belahan Lontung adalah sebutan untuk orang Batak keturunan dari Guru Tatea Bulan. Guru Tatea Bulan mempunyai lima orang putra, yaitu Raja Biakbiak, Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja, dan Malau Raja.  Dalam perkembangannya, Raja Biakbiak konon pergi ke Aceh dan tidak diketahui lagi apakah dia meninggalkan keturunan atau tidak. Sementara itu, Saribu Raja mempunyai tiga orang putra, yaitu Si Raja Lontung, Borbor, dan Babiat. Babiat konon pergi Karo dan tidak diketahui lagi sejarah dan keturunannya.
Limbong Mulana pada mualnya mendiami lembah di sebelah selatan punggung gunung yang menghubungkan dengan Pusuk Buhit dengan Tanah Datar. Sementara itu, Sagala Raja mendiami lembah yang di sebelah utara punggung gunung. Adapun Malau Raja tinggal di kawasan Pangruruan dengan memakai nama Damanik, yang memerintah wilayah swapraja Siantar di Sumatera Timur.
Si Raja Lontung mempunyai tujuh orang putra, yaitu Toga Sinaga, Toga Situmorang (Pande, Lumban Nahor, Suhut ni Huta, Siringgo-ringgo, Rumapea, Sitohang), Toga Pandiangan ( Pandiangan, Samosir, Gultom, Harianja, Pakpahan, Sitinjak), Toga Nainggolan, Toga Simatupang, Toga Siregar, dan Toga Aritonang. Toga Nainggolan sendiri mempunyai dua orang putra, yaitu Toga sibatu (Sibatuara, Parhusip) dan Toga Sihombar (Lbn. Nahor, Lbn. Tungkup, Lbn. Raja, Lbn. Siantar, Hutabalian). Adapun Si Raja Borbor menurunkan marga Pasaribu, Harahap, Parapat, Matondang, Sipahutar, Tarihoran, Saruksuk, Lubis, Batubara, Pulungan, Hutasuhut, Daulay).
Anak Guru Tatea Bulan kedua, yaitu Limbong Mulana memiliki dua putra, yaitu Palu Onggang dan Langgat Limbong. Anak keempat Guru Tatea Bulan, yaitu  Sagala Raja, menurunkan marga Hutaruar, Hutabagas, dan Hutaurat. Adapun anak keempat Guru Tatea Bulan, yaitu Malau Raja menurunkan marga Pase, Nilambean, Manik&Damanik, Ambarita, dan Gurning.

2. Belahan Sumba

Belahan Sumba adalah sebutan untuk orang Batak Toba keturunan dari Si Raja Isumbaon. Raja Isumbaon hanya mempunyai seorang putra, yaitu Tuan Sorimangaraja. Konon Tuan Sorimangaraja mempunyai tiga orang istri, yaitu Nai Ambaton, Nai Rasaon, dan Nai Suanon. Dari ketiga istri inilah nanti yang akan menurunkan puak-puak Belahan Sumba. Puak-puak ini tinggal tersebar di wilayah Sumatera Utara.
Nai Ambaton menurunkan marga induk Simbolon, Munte dan Saragi. Simbolon menurunkan dua marga, yaitu pertama Simbolon tua yang terdiri dari Simbolon, Tinambunan, Tumanggor, Turutan, Pinayungan, dan Mahanahampun. Kedua Tamba Tua yang terdiri dari Tamba, Sidabutar, Sidabalok, Siadari, Sijabat. Munte atau Munte Tua  menurunkan marga Munte, Sitanggang, dan Sigalingging. Sementara itu, Saragi atau Saragi Tua menurunkan marga Saing, Simalango, Simarmata, Nadeak, Sidabungke, Rumahorbo, Sitio, dan Napitu. Keturunan puak Nai Ambaton ini sekarang banyak ditemukan di pantai timur Sumatera. Sebaliknya puak ini jarang ditemukan di bagian selatan danau Toba.
Nai Rasaon melahirkan seorang putra bernama Raja Mangareak dan menurunkan marga Manurung, Sitorus, Sirait, dan Butar-butar. Anak keturunan puak Nai Rasaon ini saat ini banyak tinggal di daerah Uluan. Mereka tinggal dalam kelompok di kampung-kampung kecil.
Sementara itu, dari Nai Suanon lahir seorang anak bernama Tuan Sorbanibanua. Tuan Sorbanibanua mempunyai dua istri, yaitu Pasaribu dan Sibasopaet. Dari istri pertama lahir empat anak laki-laki (tidak dihitung yang sudah meninggal). Empat anaknya inilah yang nantinya menurunkan kelompok-kelompok Sibagotni Pohan, Sipaettua, Silahisabungan, dan Raja Oloan. Puak ini banyak tinggal di hampir seluruh bagian tengah danau Toba.
Sibagotni Pohan mempunyai empat putra, yaitu Tuan Sihubil (Tampubolon), Tuan Dibangarna (Panjaitan, Silitonga, Siagian, Sianipar), Tuan Somanimbil (Siahaan, Simanjuntak, Hutagaol), dan Sonak Malela (Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, Pardede).
Dari istri kedua lahir tiga anak laki-laki, yaitu Si Raja Sobu (Sitompul, Hasibuan, Hutabarat, Panggabean, Simorangkir, Hutagalung, Hutapea atau Tobing), Si Saja Sumba, dan Si Raja Naispospos.
Si Raja Sumba sendiri mempunyai dua putra, yaitu Sihombing (Silaban, Lumban Toruan, Nababan, Hutasoit) dan Simamora (Purba, Manalu, Debataraja, Tuan Sumerhan). Sementara itu, Si Raja Naipospos menurunkan marga Marbun, Sibagariang, Simanungkalit, Hutauruk, dan Situmeang.

b. Berdasarkan wilayah pemukiman (teritorial)

Kekerabatan orang Batak Toba yang ditentukan berdasarkan wilayah pemukiman terlihat dari terbentuknya kesepakatan terhadap tradisi adat-istiadat yang ada di setiap wilayah. Sebagai contoh, orang Batak yang bermukim di wilayah Mandailing, mereka akan membentuk suatu tradisi adat-istiadat yang memiliki corak sendiri dibandingkan dengan adat-istiadat suku Batak yang bermukim di Toba. Hal ini dapat terjadi meskipun orang Batak yang bermukim di Mandailing dan Toba banyak memiliki marga yang sama, seperti marga Siregar, Lubis, Hasibuan, dan Batubara.
Kekerabatan berdasarkan wilayah pemukiman ini memiliki daya rekat yang sama kuat dengan kekerabatan yang berdasarkan keturunan. Hal ini tergambar dalam peribahasa Batak Toba yang berbunyi:
Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul (Semua orang mengakui bahwa hubungan garis keturunan adalah sudah pasti dekat, tetapi dalam sistem kekerabatan Batak lebih dekat lagi hubungan karena bermukim di satu wilayah)
Berdasarkan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), maka tempat tinggal suku Batak Toba terbagai dalam 4 (empat) wilayah besar. Keempat wilayah tersebut adalah sebagai berikut.
  1. Wilayah Samosir, yaitu Pulau Samosir dan sekitarnya. Adapun marga yang hidup di wilayah ini antara lain marga Simbolon dan Sagala.
  2. Wilayah Toba, yaitu daerah Balige, Laguboti, Porsea, Parsoburan, Sigumpar, dan sekitarnya. Adapun marga yang tinggal di daerah ini antara lain marga Sitorus dan Marpaung.
  3. Wilayah Humbang, yaitu daerah Dolok Sanggul, Lintongnihuta, Siborongborong, dan sekitarnya. Adapun marga yang tinggal di daerah ini antara lain marga Simatupang Siburian, dan Sihombing Lumban Toruan.
  4. Wilayah Silindung, yaitu daerah Sipoholon, Tarutung, Pahae, dan sekitarnya. Adapun marga yang hidup di daerah  ini antara lain marga Naipospos (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun) dan Huta Barat.

3. Pengaruh Sosial

Penetapan ikatan kekeluargaan dan kekerabatan berdasarkan marga memiliki pengaruh sosial yang beragam bagi kehidupan orang Batak Toba. Hal ini menandakan bahwa marga sebagai sebuah tradisi menjadi salah satu unsur yang penting dalam kehidupan orang Batak Toba. Pengaruh sosial konsep marga terwujud dalam beberapa hal, antara lain:
  • Pengaruh terhadap identitas sosial orang Batak Toba. Setiap bayi orang Batak Toba yang lahir akan secara otomatis langsung menyandang marga ayahnya. Jika bayi tersebut laki-laki, maka dia menyandang marga ayahnya dan akan menjadi penerus generasi selanjutnya. Apabila yang lahir bayi perempuan, ia juga akan menyandang marga ayahnya meskipun marga itu tidak lagi berkelanjutan karena suku Batak Toba tidak menganut sistem garis keibuan (matrilineal). Dalam konteks ini, marga berfungsi sebagai identitas sosial orang Batak Toba. Tanpa marga yang jelas, maka tentu saja identitas sosial seorang bayi yang baru lahir di Batak Toba tidak diketahui. Ketidakjelasan marga ini nantinya juga akan berpengaruh terhadap identitas kewarganegaraan seseorang setelah dewasa karena akan sulit tercatat dalam data penduduk.
  • Pengaruh terhadap status sosial. Dalam hubungan sosial, marga menjadi ukuran seseorang dalam bersikap terhadap orang lain. Hubungan antar-marga pada masing-masing suku Batak berbeda jenisnya. Pada Suku Batak Toba, hubungan marga ini dapat dilihat dari asal muasal marga tersebut pada garis keturunan Si Raja Batak. Semakin dekat marga tersebut dengan Si Raja Batak, maka semakin dituakanlah marga tersebut, dan orang akan semakin menghormatinya. Falsafah Dalihan Na Tolu memang memperlihatkan bahwa orang Batak Toba tampak sangat demokratis, akan tetapi tetap saja mereka mempunyai konsep tersendiri sehubungan dengan pengambilan sikap terhadap orang lain yang mempunyai silsilah yang lebih dekat dengan Si Raja Batak. Dalam konteks ini, marga tetap menjadi salah satu ukuran status sosial di masyarakat Batak Toba.
  • Pengaruh terhadap hukum adat perkawinan Batak Toba. Dalam hukum perkawinan adat Batak Toba telah ditetapkan bahwa jika laki-laki dan perempuan memiliki marga sejenis dan saling mencintai (tidak harus sama) maka keduanya tidak diperbolehkan menikah. Jika melanggar ketetapan ini, maka si pelanggar akan mendapatkan sanksi adat. Hal ini ditujukan untuk menghormati marga seseorang dan agar keturunan marga tersebut dapat berkembang. Dalam konteks ini, marga memiliki kedudukan yang cukup tinggi dalam hukum adat Batak Toba.
  • Pengaruh terhadap sistem sosial. Dalam lingkungan sosial Batak Toba, posisi yang diajarkan dalam falsafah Dalihan Na Tolu dapat disandang oleh siapa saja. Sebagai contoh, seorang Batak Toba pada saat tertentu berada dalam posisi boru, akan tetapi di lain waktu posisinya bisa berubah menjadi hula-hula atau dongan tubu. Hal itu sangat bergantung pada konteks adat dan keseharian. Ketika seorang Batak Toba yang masuk dalam kelompok boru (bawah) menikah dengan marga lain, maka status sosial yang disandangnya menurut sistem Dalihan Na Tolu adalah tetap sebagai boru. Adapun marga suaminya menjadi hula-hula. Dalam konteks ini, marga ikut berpengaruh terhadap sistem sosial, yaitu dalam hal kedudukan seseorang pada kekerabatan dan sosial orang Batak Toba. Secara etika, marga juga mengajarkan kepada masyarakat Batak Toba untuk tidak menyombongkan keturunannya karena dalam waktu tertentu status mereka dapat berubah.
  • Pengaruh terhadap meluasnya relasi sosial orang Batak umumnya dan Batak Toba khususnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia sekarang ini orang Batak menempati profesi khusus yang cukup terkenal, yaitu profesi sebagai pengacara. Keidentikan profesi pengacara dengan orang Batak ini tentu saja tidak lepas dari relasi sosial yang mereka bangun atas nama marga mereka dan sesama orang Batak. Dalam konteks ini, marga tampaknya menjadi alat ampuh yang digunakan oleh orang Batak dalam menegaskan dominasi mereka sebagai pengacara. Marga dalam hal ini juga berfungsi sebagai media untuk mempererat rasa persaudaraan antarsesama orang Batak di perantauan.
  • Pengaruh terhadap pergantian marga. Marga adalah ciri khas dan identitas orang Batak Toba. Sebagai sebuah identitas, tidak memakai marga dianggap sebagai sebuah pelanggaran adat dan sosial. Dalam kondisi ini, marga terkadang menjadi beban bagi perempuan Batak Toba yang tidak menginginkan anaknya menyandang marga ayahnya yang telah meninggal (atau mungkin sang ibu sudah tidak suka dengan suaminya). Sebagai contoh, ada seorang ibu Batak Toba yang melahirkan bayi perempuan. Karena suaminya bermarga A, tentu otomatis sang bayi itu menyandang marga ayahnya yang A. Tatkala umur sang bayi masih 4 hari, sang ayah meninggal dunia. Menjelang usia si bayi menapak tahun ke-3, sang ibu menikah lagi dengan lelaki dari marga lain, katakanlah marga B. Sejak saat itu, otomatis si bayi marga A tersebut dibesarkan dalam keluarga yang dipimpin marga B. Ternyata, dalam penulisan ijazah si anak tidak ada tercantum penggunaan marga aslinya (A), melainkan hanya dicantumkan namanya saja. Terlepas dari niat ibunya, dalam konteks ini, marga di satu sisi dianggap membelenggu orangtua yang tidak menginginkan anaknya untuk memakai marga ayahnya yang telah meninggal.

4. Penutup

Ketika banyak tradisi dan adat istiadat suku bangsa di Indonesia mulai tergerus oleh budaya modern (bahkan ada yang punah tanpa bekas), marga sebagai salah satu tradisi suku Batak Toba masih bertahan hingga kini. Dalam konteks ini, kebiasaan orang Batak Toba untuk meletakkan marga di belakang namanya perlu diapresiasi dan didukung. Hal ini dikarenakan identitas suku Batak Toba tetap terjaga dengan adanya marga.

(Yusuf Efendi/bdy/21/03-10)

Referensi

Thursday, December 22, 2011

I Yayat U Santi


Seruan orang Minahasa sejak dahulu kala ini menjadi perhatian masa kini, karena lambang Minahasa sekarang banyak terdapat tulisan tersebut. Lalu apa arti dan makna dari ungkapan ini?

Terjemahan harafiahnya adalah:
Angkatlah Dan Acung-Acungkanlah Pedang (Mu) Itu

Ungkapan ini diseru-serukan khususnya oleh para Waranei, anggota kabasaran, penari tari pedang dalam menghadapi tantangan yang dianggap sebagai musuh. Ini merupakan suatu komando/perintah, juga untuk membangkitkan gairah, semangat sekaligus untuk mengusir kecemasan, kekhawatiran dan ketakutan ketika menghadapi tantangan (musuh).

Ungkapan ini diseru-serukan oleh pemimpin-pemimpin masyarakat dalam hal mengajak mereka untuk bersama-sama maju dengan kebulatan tekad melaksanakan apa yang dihasilkan dari perundingan bersama kepada anak-cucu-cecenya. Ia mengandung juga seruan supaya hendaklah kamu gagah perkasa, maju terus dan pantang mundur.

Cara menyerukan bagi para waranei ialah dengan suara yang nyaring, tegas betul-betul seperti komando, sambil mengangkat dan mengacung-acungkan salah satu tangan dengan kepalan jari-jarinya. Lalu seruan ini disahuti dengan sorakan oleh rekan-rekan waranei atau oleh hadirin dengan jawaban atau sambutan: Uhuuy!! atau Tentu itu!! yang artinya : Setuju, demikianlah halnya!.

Apabila kita menggunakan ungkapan dan seruan ini untuk masa kini, maka maknanya ialah: Supaya kita melengkapi diri kita dengan segala kearifan, hikmat, keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi serta kecetakan (= wisdom, managerial skill and technical know-how).

Itulah santi kita masa kini yang harus diacung-acungkan menghadapi segala tantangan yang mengancam kehidupan kita, baik fisik maupun non-fisik, dengan segala kebulatan tekad sesudah dimusyawarahkan bersama. Tantangan itu adalah kemiskinan, kemalasan, kebodohan, kelaparan, ketidakadilan, ancaman penjajahan, dan segala sesuatu yang dapat menjadi musuh kehidupan.

Dalam bahasa Alkitab, ungkapan ini juga bermakna sebagai pengejawantahan kuasa-kuasa maut. Dan karena kuasa maut itu telah ditaklukan oleh Allah sendiri karena membangkitkan Putera-Nya, Yesus Kristus dari kematian, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak berjuang demi kemenangan kehidupan.

Jadi seruan I Yayat U Santi! dan sambutan sorakan Uhuuy! atau Tentu itu! bermakna: Marilah kita bersama menghadapi tantangan maut itu dan menanggulanginya demi kehidupan kita dan anak-cucu-cece kita.



Oleh : Pdt. Dr. W.A. Roeroe
Dikutip dari buku : Injil dan Kebudayaan di Tanah Minahasa

468 Marga Batak

Salah satu versi ada yang menyebutkan 479 marga Batak. Dikutip dari buku: Ruhut-ruhut ni Adat Batak Karya besar : Alm. H.B. situmorang BPK Gunung Mulia, Jakarta – 1983. 

A.
1.          AMBARITA
2.          AMPAPAGA (SIAMPAPAGA)
3.          AMPUN (NAHAMPUNGAN)
4.          ANGKAT
5.          ANGKAT SINGKAPAL
6.          ARITONANG
7.          ARUAN

B.
8.          BABIAT
9.          BAHO (NAIBAHO)
10.        BAKO
11.        BANJARNAHOR (NAINGGOLAN)
12.        BANJARNAHOR (MARBUN)
13.        BANCIN
14.        BAKKARA
15.        BARINGBING (TAMPUBOLON)
16.        BARUARA (TAMBUNAN)
17.        BARUTU (SITUMORANG)
18.        BARUTU (SINAGA)
19.        BATUARA (NAINGGOLAN)
20.        BATUBARA
21.        BERASA
22.        BARAMPU
23.        BARINGIN
24.        BINJORI
25.        BINTANG
26.        BOANG MANALU
27.        BOLIALA
28.        BONDAR
29.        BORBOR
30.        BUATON
31.        BUNUREA (BANUAREA)
32.        BUNJORI
33.        BUTARBUTAR

D.
34.        DABUTAR (S IDA BUTAR ?)
35.        DAIRI (SIMANULLANG)
36.        DAIRI (SINAMBELA)
37.        DALIMUNTA (MUNTE)
38.        DAMANIK – AMBARITA
39.        DAMANIK BARIBA
40.        DAMANIK GURNING
41.        DAMANIK MALAU
42.        DAMANIK TOMOK SARAGI
43.        DAPARI
44.        DAULAE
45.        DEBATARAJA (SIMAMORA)
46.        DEBATARAJA (RAMBE)
47.        DOLOKSARIBU
48.        DONGORAN
49.        DOSI (PARDOSI)

G.
50.        GAJA
51.        GAJADIRI
52.        GAJAMANIK
53.        GINTING BAHO
54.        GINTING BERAS
55.        GINTING CAPA SEMBIRING
56.        GINTING GURU PATIH
57.        GINTING JADIBATA
58.        GINTING JAWAK
59.        GINTING MANIK
60.        GINTING MUNTE
61.        GINTING PASE
62.        GINTING SIGA RAMATA
63.        GINTING SARAGIH
64.        GINTING SINUSINGAN
65.        GINTING SUGIHEN
66.        GINTING SINUSUKA
67.        GINTING TUMANGGER
68.        GIRSANG
69.        GORAT
70.        GULTOM
71.        GURNING
72.        GUSAR

H.
73.        HABEAHAN
74.        HARAHAP
75.        HARIANJA
76.        HARO
77.        HAROHARO
78.        HASIBUAN
79.        HASUGIAN
80.        HUTABALIAN
81.        HUTABARAT
82.        HUTAJULU
83.        HUTAGALUNG
84.        HUTAGAOL (LONTUNG)
85.        HUTAGAOL (SUMBA)
86.        HUTAHAEAN
87.        HUTAPEA
88.        HUTASOIT
89.        HUTASUHUT
90.        HUTATORUAN
91.        HUTAURUK

K.
92.        KAROKARO BARUS
93.        KAROKARO BUKIT
94.        KAROKARO GURUSINGA
95.        KAROKARO JUNG
96.        KAROKARO KALOKO
97.        KAROKARO KACARIBU
98.        KAROKARO KESOGIHAN
99.        KAROKARO KETAREN
100.      KAROKARO KODADIRI
101.      KAROKARO PURBA
102.      KAROKARO SINURAYA (dari sian raya)
103.      KAROKARO SEKALI
104.      KAROKARO SIKEMIT
105.      KAROKARO SINUAJI
106.      KAROKARO SINUKABAN
107.      KAROKARO SINULINGGA
108.      KAROKARO SIMURA
109.      KAROKARO SITEPU
110.      KAROKARO SURBAKTI TARIGAN
111.      KASOGIHAN
112.      KUDADIRI

L.
113.      LAMBE
114.      LIMBONG
115.      LINGGA
116.      LONTUNG
117.      LUBIS
118.      LUBIS HATONOPAN
119.      LUBIS SINGASORO
120.      LUMBAN BATU
121.      LUMBAN DOLOK
122.      LUMBAN GAOL (MARBUN)
123.      LUMBAN GAOL (TAMBUNAN)
124.      LUMBAN NAHOR (SITUMORANG)
125.      LUMBAN PANDE (SITUMORANG)
126.      LUMBAN PANDE (PANDIANGAN)
127.      LUMBAN PEA (TAMBUNAN)
128.      LUMBAN RAJA
129.      LUMBAN SIANTAR
130.      LUMBAN TOBING
131.      LUMBAN TORUAN (SIRINGORINGO)
132.      LUMBAN TORUAN (SIHOMBING)
133.      LUMBAN TUNGKUP

M.
134.      MAHA
135.      MAHABUNGA
136.      MAHARAJA
137.      MALAU
138.      MALIAM
139.      MANALU (TOGA SIMAMORA)
140.      MANALU – RAMBE
141.      MANALU (BOANG)
142.      MANIK
143.      MANIK URUK
144.      MANURUNG
145.      MARBUN
146.      MARBUN SEHUN
147.      MARDOSI
148.      MARPAUNG
149.      MARTUMPU
150.      MATANIARI
151.      MATONDANG
152.      MEHA
153.      MEKAMEKA
154.      MISMIS
155.      MUKUR
156.      MUNGKUR
157.      MUNTE (NAIMUNTE)

N
158.      NABABAN
159.      NABUNGKE
160.      NADAPDAP
161.      NADEAK
162.      NAHAMPUN
163.      NAHULAE
164.      NAIBAHO
165.      NAIBORHU
166.      NAIMUNTE
167.      NAIPOSPOS
168.      NAINGGOLAN
169.      NAPITU
170.      NAPITUPULU
171.      NASUTION
172       NASUTION BOTOTAN
173.      NASUTION LONCAT
174.      NASUTION TANGGA AMBENG
175.      NASUTION SIMANGGINTIR
176.      NASUTION MA NGG IS
177.      NASUTION JORING

O.
178.      OMPUSUNGGU
179.      OMPU MANUNGKOLLANGIT

P.
180.      PADANG (SITUMORANG)
181.      PADANG (BATANGHARI)
182.      PANGARAJI (TAMBUNAN)
183.      PAKPAHAN
184.      PAMAN
185.      PANDEURUK
186.      PANDIANGAN – LUMBANPANDE
187.      PANDIANGAN SITANGGUBANG
188.      PANDIANGAN SITURANGKE
189.      PANJAITAN
190.      PANE
191.      PANGARIBUAN
192.      PANGGABEAN
193.      PANGKAR
194.      PAPAGA
195.      PARAPAT
196.      PARDABUAN
197.      PARDEDE
198.      PARDOSI – DAIRI
199.      PARDOSI (SIAGIAN)
200.      PARHUSIP
201.      PASARIBU
202.      PASE
203.      PASI
204.      PERANGINANGIN – BENJERANG 205.      PERANGINANGIN BANGUN
206.      PERANGINANGIN KABAK
207.      PERANGINANGIN KACINABU
208.      PERANGINANGIN KELIAT
209.      PERANGINANGIN LAKSA
210.      PERANGINANGIN MANO
211.      PERANGINANGIN NAMOHAJI
212.      PERANGINANGIN PANGGARUN
213.      PERANGINANGIN PENCAWAN
214.      PERANGINANGIN PARBESI
215.      PERANGINANGIN PERASIH
216.      PERANGINANGIN PINEM
217.      PERANGINANGIN SINUBAYANG
218.      PERANGINANGIN SINGARIMBUM
219.      PERANGINANGIN SINURAT
220.      PERANGINANGIN SUKATENDE
221.      PERANGINANGIN ULUJANDI
222.      PERANGINANGIN UWIR GINTING
223.      PINAYUNGAN
224.      PINARIK
225.      PINTUBATU
226.      POHAN
227.      PORTI
228.      POSPOS
229.      PULUNGAN
230.      PURBA (RAMBE)
231.      PURBA (TOGA SIMAMORA)
232.      PURBA BAWANG 233.      PURBA DAGAMBIR
234.      PURBA DASUHA
235.      PURBA GIRSANG
236.      PURBA PAKPAK
237.      PUBA SIDADOLOK
238.      PURBA TAMBAK HALAK SILEBAN 239.      PUSUK

R.
240.      RAJAGUKGUK
241.      RAMBE-PURBA
242.      RAMBE-MANALU
243.      RAMBE-DEBATARAJA
244.      RANGKUTI-DANO
245.      RANGKUTI-PANE
246.      REA
247.      RIMOBUNGA
248.      RITONGA
249.      RUMAHOMBAR
250.      RUMAHORBO
251.      RUMAPEA
252.      RUMASINGAP
253.      RUMASONDI

S.
254.      SAGALA
255.      SAGALA – BANGUNREA
256.      SAGALA – HUTABAGAS
257.      SAGALA HUTAURAT
258.      SAING
259.      SAMBO
260.      SAMOSIR
261.      SAPA
262.      SARAGIH DJAWAK
263.      SARAGIH DAMUNTE
264.      SARAGIH DASALAK
265.      SARAGIH GARINGGING
266.      SARAGIH SIMARMATA
267.      SARAGIH SITANGGANG
268.      SARAGIH SUMBAYAK
269.      SARAGIH TURNIP PURBA
270.      SARAGIH (SAMOSIR)
271.      SARAGIH (SIMALUNGUN)
272.      SARAAN (SERAAN)
273.      SARUKSUK
274.      SARUMPAET
275.      SEMBIRING-BRAHMANA
276.      SEMBIRING BUNUHAJI
277.      SEMBIRING BUSUK (PU)
278.      SEMBIRING DEPARI
279.      SEMBIRING GALUK
280.      SEMBIRING GURU KINAYA
281.      SEMBIRING KELING
282.      SEMBIRING KALOKO
283.      SEMBIRING KEMBAREN
284.      SEMBIRING MELIALA
285.      SEMBIRING MUHAM
286.      SEMBIRING PANDEBAYANG
287.      SEMBIRING PANDIA
288.      SEMBIRING PELAWI
289.      SEMBIRING SINULAKI
290.      SEMBIRING SINUPAYUNG
291.      SEMBIRING SINUKAPAR
292.      SEMBIRING TAKANG
293.      SEMBIRING SOLIA (MARGA SILEBAN - MASUK TU BATAK SINAGA)
294.      SEUN (SEHUN)
295.      SIADARI
296.      SIAGIAN (SIREGAR)
297.      SIAGIAN (TUAN DIBANGARNA )
298.      SIAHAAN (NAINGGOLAN)
299.      SIAHAAN (TUAN SOMANIMBIL)
300.      SIAHAAN HINALANG
301.      SIAHAAN BALIGE
302.      SIAHAAN LUMBAN GORAT
303.      SIAHAAN TARABUNGA
304.      SIAHAAN SIBUNTUON
305.      SIALLAGAN
306.      SIAMPAPAGA
307.      SIANIPAR
308.      SIANTURI
309.      SIBANGEBENGE
310.      SIBARANI
311.      SIBARINGBING
312.      SIBORO
313.      SIBORUTOROP
314.      SIBUEA
315.      SIBURIAN
316.      SIDABALOK
317.      SIDABANG
318.      SINABANG
319.      SIDEBANG
320.      SIDABARIBA
321.      SINABARIBA
322.      SIDABUNGKE
323.      SIDABUTAR (SARAGIH)
324.      SIDABUTAR (SILAHISABUNGAN)
325.      SIDAHAPINTU
326.      SIDARI
327.      SIDAURUK
328.      SIJABAT
329.      SIGALINGGING
330.      SIGIRO
331.      SIHALOHO
332.      SIHITE
333.      SIHOMBING
334.      SIHOTANG
335.      SIKETANG
336.      SIJABAT
337.      SILABAN
338.      SILAE
339.      SILAEN
340.      SILALAHI
341.      SILALI
342.      SILEANG
343.      SILITONGA
344.      SILO
345.      SIMAIBANG
346.      SIMALANGO
347.      SIMAMORA
348.      SIMANDALAHI
349.      SIMANJORANG
350.      SIMANJUNTAK
351.      SIMANGUNSONG
352.      SIMANIHURUK
353.      SIMANULLANG
354.      SIMANUNGKALIT
355.      SIMARANGKIR (SIMORANGKIR)
356.      SIMAREMARE
357.      SIMARGOLANG
358.      SIMARMATA
359.      SIMARSOIT
360.      SIMATUPANG
361.      SIMBIRING-MEHA
362.      SEMBIRING-MELIALA
363.      SIMBOLON
364.      SINABANG
365.      SINABARIBA
366.      SINAGA
367.      SIBAGARIANG
368.      SINAGA NADIHAYANGHOTORAN
369.      SINAGA NADIHAYANGBODAT
370.      SINAGA SIDABARIBA
371.      SINAGA SIDAGURGUR
372.      SINAGA SIDAHAPINTU
373.      SINAGA SIDAHASUHUT
374.      SINAGA SIALLAGAN
375.      SINAGA PORT I DAMANIK
376.      SINAMBELA – HUMBANG
377.      SINAMBELA DAIRI
378.      SINAMO
379.      SINGKAPAL
380.      SINURAT
381.      SIPAHUTAR
382.      SIPAYUNG
383.      SIPANGKAR
384.      SIPANGPANG
385.      SIPARDABUAN
386.      SIRAIT
387.      SIRANDOS
388.      SIREGAR
389.      SIRINGKIRON
390.      SIRINGO-RINGO
391.      SIRUMAPEA
392.      SIRUMASONDI
393.      SITANGGANG
394.      SITANGGUBANG
395.      SITARIHORAN
396.      SITINDAON
397.      SITINJAK
398.      SITIO
399.      SITOGATOROP
400.      SITOHANG URUK
401.      SITOHANG TONGATONGA
402.      SITOHANG TORUAN
403.      SITOMPUL
404.      SITORANG (SITUMORANG)
405.      SITORBAN DOLOK
406.      SITORUS
407.      SITUMEANG
408.      SITUMORANG
409.      SITUMORANG – LUMBAN PANDE
410.      SITUMORANG – LUMBAN NAHOR
411.      SITUMORANG – SUHUTNIHUTA
412.      SITUMORANG – SIRINGO-RINGO
413.      SITUMORANG – SITOHANG URUK
414.      SITUMORANG SITOHANG TONGATONGA
415.      SITUMORANG SITOHANG TORUAN
416.      SITUNGKIR
417.      SITURANGKE
418.      SOBU
419.      SOLIA
420.      SOLIN
421.      SORGANIMUSU
422.      SORMIN
423.      SUHUTNIHUTA – SITUMORANG
424.      SUHUTNIHUTA – SINAGA
425.      SUHUTNIHUTA – PANDIANGAN
426.      SUMBA
427.      SUNGE
428.      SUNGGU

T.
429.      TAKKAR
430.      TAMBA
431.      TAMBAK
432.      TAMBUNAN BARUARA
433.      TAMBUNAN LUMBAN GAOL
434.      TAMBUNAN LUMPAN PEA
435.      TAMBUNAN PAGARAJI
436.      TAMBUNAN SUNGE
437.      TAMPUBO LON
438.      TAMPUBOLON BARIMBING
439.      TAMPUBOLON SILAEN
440.      TANJUNG
441.      TARIGAN
442.      TARIGAN BANDANG
443.      TARIGAN GANAGANA
444.      TARIGAN GERNENG
445.      TARIGAN GIRSANG
446.      TARIGAN JAMPANG
447.      TARIGAN PURBA
448.      TARIGAN SILANGIT
449.      TARIGAN TAMBAK
450.      TARIGAN TAMBUN
451.      TARIGAN TAGUR
452.      TARIGAN TUA
453.      TARIGAN CIBERO PERANGINANGIN
454.      TARIHORAN
455.      TENDANG
456.      TINAMBUNAN
457.      TINENDUNG
458.      TOGATOROP
459.      TOMOK
460.      TORBANDOLOK
461.      TUMANGGOR
462.      TURNIP
463.      TURUTAN Tj (C).
464.      TJAPA (CAPA)
465.      TJAMBO (CAMBO)
466.      TJIBERO (CIBERO)

U.
467.      UJUNG – RIMOBUNGA
468.      UJUNG – SARIBU KAROKARO

Monday, September 26, 2011

Batak Sebagai Nama Etnik Dikonstruksi Jerman dan Belanda

Nama Batak sebagai identitas etnik ternyata tidak berasal dari orang Batak sendiri, tapi diciptakan atau dikonstruksi para musafir barat. Hal ini kemudian dikukuhkan misionaris Jerman yang datang ke tanah Batak sejak tahun 1860-an. Simpulan ini dikemukakan sejarahwan Unversitas Negeri Medan (Unimed) Ichwan Azhari yang baru usai melakukan penelitian di Jerman.

Di Jerman, sejarahwan bergelar doktor ini memeriksa arsip-arsip yang ada di Wuppertal, Jerman. Dalam sumber-sumber lisan dan tertulis, terutama di dalam pustaha, atau tulisan tangan asli Batak, tidak ditemukan kata Batak untuk menyebut diri sebagai orang atau etnik Batak. Jadi dengan demikian nama Batak tidak asli berasal dari dalam kebudayaan Batak, tetapi diciptakan dan diberikan dari luar.

"Kata Batak awalnya diambil para musafir yang menjelajah ke wilayah Pulau Sumatera dari para penduduk pesisir untuk menyebut kelompok etnik yang berada di pegunungan dengan nama bata. Tapi nama yang diberikan penduduk pesisir ini berkonotasi negatif bahkan cenderung menghina untuk menyebut penduduk pegunungan itu sebagai kurang beradab, liar, dan tinggal di hutan," kata Ichwan Azhari di Medan, Minggu (14/11/2010).

Dalam penelitiannya yang dimulai sejak September lalu, selain memeriksa arsip-arsip di Jerman, Ichwan juga melengkapi datanya dengan mendatangi KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde atau the Royal Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) di Belanda. Dia juga mewawancari sejumlah pakar ahli Batak di Belanda dan Jerman seperti Johan Angerler dan Lothar Schreiner.

Hasilnya, pada sumber-sumber manuskrip Melayu klasik yang ditelusurinya, seperti manuskrip abad 17 koleksi Leiden, memang ditemukan kata Batak di kalangan orang Melayu di Malaysia, tetapi sebagai label untuk penduduk yang tinggal di rimba pedalaman semenanjung Malaka. Dalam manuskrip itu, saat Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, Puteri Gunung Ledang yang sangat dihina dan direndahkan oleh teks ini, melarikan diri ke hulu sungai dan dalam teks itu disebut, "... masuk ke dalam hutan rimba yang amat besar hampir dengan negeri Batak. Maka diambil oleh segala menteri Batak itu, dirajakannya Puteri Gunung Ledang itu dalam negeri Batak itu."

Tidak hanya di Malaysia, di Filipina juga penduduk pesisir menyebut penduduk pedalaman dengan streotip atau label negatif sebagai Batak. Untuk itu menurut Ichwan, cukup punya alasan dan tidak mengherankan kalau peneliti Batak terkenal asal Belanda bernama Van der Tuuk pernah risau
dan mengingatkan para misionaris Jerman agar tidak menggunakan nama Batak untuk nama etnik karena imej negatif yang terkandung pada kata itu.

"Di Malaysia dan Filipina penduduk yang diberi label Batak tidak mau menggunakan label merendahkan itu menjadi nama etnik mereka. Di Sumatera Utara label itu terus dipakai karena peran misionaris Jerman dan pemerintah kolonial Belanda yang memberi konstruksi dan makna baru atas kata itu," katanya.

Disebutkan Ichwan, para misionaris itu sendiri awalnya ragu-ragu menggunakan kata Batak sebagai nama etnik, karena kata Batak tidak dikenal oleh orang Batak itu sendiri ketika para misionaris datang dan melakukan penelitian awal. Para misionaris awalnya menggunakan kata bata sebagai satu kesatuan dengan lander, jadi bata lander yang berarti tanah Batak, merupakan suatu nama yang lebih menunjuk ke kawasan geografis dan bukan kawasan budaya atau suku.

Di arsip misionaris yang menyimpan sekitar 100 ribu dokumen berisi informasi penting berkaitan dengan aktivitas dan pemikiran di tanah Batak sejak pertengahan abad ke-19 itu, Ichwan menemukan dan meneliti
puluhan peta, baik peta bata lander yang dibuat peneliti Jerman Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn, maupun peta-peta lain sebelum dan setelah peta Junghuhn dibuat.

"Peta-peta itu memperlihatkan adanya kebingungan para musafir barat dan misionaris Jerman untuk meletakkan dan mengkonstruksi secara pas sebuah kata Batak dari luar untuk diberikan kepada nama satu kelompok etnik yang heterogen yang sesungguhnya tidak mengenal kata ini dalam warisan sejarahnya," tukas Ichwan.

Dalam peta-peta kuno itu, kata bata lander hanya digunakan sebagai judul peta tapi di dalamnya hanya nampak lebih besar dari judulnya nama-nama seperti Toba, Silindung, Rajah, Pac Pac, Karo, dan tidak ada nama batak sama sekali. Dalam salah satu peta kata Batak di dalam peta digunakan sebagai pembatas kawasan Aceh dengan Minangkabau.

Kebingungan para misionaris Jerman untuk mengkonstruksi kata Batak sebagai nama suku juga nampak dari satu temuan Ichwan terhadap peta misionaris Jerman sendiri yang sama sekali tidak menggunakan judul bata lander sebagai judul peta dan membuang semua kata Batak yang ada dalam edisi penerbitan peta itu di dalam laporan tahunan misionaris. Padahal sebelumnya mereka telah menggunakan kata Batak itu.

Kata Batak yang semula nama ejekan negatif penduduk pesisir kepada penduduk pedalaman, kemudian menjadi nama kawasan geografis penduduk dataran tinggi Sumatera Utara yang heterogen dan memiliki nama-namanya sendiri pada awal abad 20, bergeser menjadi nama etnik dan sebagai nama identitas yang terus mengalami perubahan.

"Setelah misionaris Jerman berhasil menggunakan nama Batak sebagai nama etnik, pihak pemerintah Belanda juga menggunakan konsep Jerman itu dalam pengembangan dan perluasan basis-basis kolonialisme mereka. Nama Batak juga digunakan sebagai nama etnik para elit yang bermukim di Tapanuli Selatan yang beragama Islam," tukasnya.

Dari Manakah Asal Kata "Batak"?

Sejarawan dari Universitas Negeri Medan (Unimed), Ichwan Azhari, mengatakan, istilah Batak sebagai sebutan terhadap etnis Batak ternyata tidak berasal dari orang Batak sendiri. Istilah itu diciptakan atau dikonstruksi oleh para musafir barat dan kemudian dikukuhkan oleh misionaris Jerman yang datang ke tanah Batak pada 1860-an. Hal itu dikatakan Ichwan berdasarkan penelitian yang dilakukannya sekitar dua bulan pada pada arsip misionaris di Wuppertal, Jerman. Penelitian atas biaya dinas pertukaran akademis Pemerintah Jerman.

Dalam sumber-sumber lisan dan tertulis, terutama di dalam pustaha (tulisan tangan asli Batak), lanjut dia, tidak ditemukan kata Batak untuk menyebut diri sebagai orang atau etnik Batak.

"Jadi dengan demikian nama Batak tidak asli berasal dari dalam kebudayaan Batak, melainkan sesuatu yang diciptakan dan diberikan dari luar oleh para musafir barat yang kemudian diperkuat oleh para misionaris Jerman," katanya, di Medan, Minggu (14/11).

Menurut Ichwan, selain meneliti arsip misionaris Jerman, ia juga melengkapi datanya ke arsip KITLV di Belanda, mewawancari sejumlah pakar ahli Batak di Belanda dan Jerman, seperti Johan Angerler dan Lothar Schreiner.

Dari data yang diteliti tersebut diketahui bahwa sebutan Batak awalnya diambil para musafir yang menjelajah ke Sumatera dari para penduduk pesisir untuk menyebut kelompok etnik yang berada di pegunungan dengan nama "bata". 

Tapi nama yang diberikan penduduk pesisir itu berkonotasi negatif, bahkan cenderung menghina untuk menyebut penduduk pegunungan itu sebagai kurang beradab, liar, dan tinggal di hutan.

Pada sumber-sumber manuskrip Melayu klasik yang ia telusuri, seperti manuskrip abad 17 koleksi Leiden juga ditemukan kata Batak di kalangan orang Melayu di Malaysia, sebagai label untuk penduduk yang tinggal di rimba pedalaman semenanjung Malaka. 

Dalam manuskrip itu, saat Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), Puteri Gunung Ledang yang sangat dihina dan direndahkan oleh teks itu, melarikan diri ke hulu sungai dan dalam teks disebut "masuk ke dalam hutan rimba yang amat besar hampir dengan negeri Batak, maka diambil oleh segala menteri Batak itu, dirajakannya Puteri Gunung Ledang itu dalam negeri Batak itu".

Tidak hanya di Malaysia, di Filipina juga penduduk pesisir menyebut penduduk pedalaman dengan streotip atau label negatif sebagai Batak.

Untuk itu, lanjut dia, cukup beralasan dan tidak mengherankan kalau peneliti Batak terkenal asal Belanda bernama Van der Tuuk pernah risau dan mengingatkan para misionaris Jerman agar tidak menggunakan nama Batak untuk nama etnik karena imej negatif yang terkandung pada kata itu.

"Dari hasil penelitian itu, saya berkesimpulan bahwa kata Batak baik sebagai sebuah pernyataan dan ekspresi identitas, sebagai nama suku dalam konsep antropologi ataupun sebagai nama kawasan kultural dan geografis akan terus mengalami perubahan makna dan interpretasi, baik di kalangan akademisi maupun di kalangan mereka yang disebut atau menyebut diri sebagai Batak," katanya.

Saturday, June 25, 2011

ULOS BATAK


Oloan Pardede


[ JENIS DAN TATA CARA PENGGUNAANNYA ]
Pada jaman dahulu sebelum orang batak mengenal tekstil buatan luar, ulos adalah pakaian sehari-hari. Bila dipakai laki-laki bagian atasnya disebut “hande-hande” sedang bagian bawah disebut “singkot” kemudian bagian penutup kepala disebut “tali-tali” atau “detar”.  Bia dipakai perempuan, bagian bawah hingga batas dada disebut “haen”, untuk penutup pungung disebut “hoba-hoba” dan bila dipakai berupa selendang disebut “ampe-ampe” dan yang dipakai sebagai penutup kepala disebut “saong”. Apabila seorang wanita sedang menggendong anak, penutup punggung disebut “hohop-hohop” sedang alat untuk menggendong disebut’ “parompa”.
Sampai sekarang tradisi berpakaian cara ini masih bias kita lihat didaerah pedalaman Tapanuli.
Tidak semua ulos Batak dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ulos jugia, ragi hidup, ragi hotang dan runjat. Biasanya adalah simpanan dan hanya dipakai pada waktu tertentu saja.


Proses pembuatan ulos batak.
Bagi awam dirasa sangat unik. Bahan dasar ulos pada umumnya adalah sama yaitu sejenis benang yang dipintal dari kapas. Yang membedakan sebuah ulos adalah proses pembuatannya. Ini merupakan ukuran penentuan nilai sebuah ulos.
Untuk memberi warna dasar benang ulos, sejenis tumbuhan nila (salaon) dimasukkan kedalam sebuah periuk tanah yang telah diisi air. Tumbuhan ini direndam (digon-gon) berhari-hari hingga gatahnya keluar, lalu diperas dan ampasnya dibuang. Hasilnya ialah cairan berwarna hitam kebiru-biruan yang disebut “itom”.
Periuk tanah (palabuan) diisi dengan air hujan yang tertampung pada lekuk batu (aek ni nanturge) dicampur dengan air kapur secukupnya. Kemudian cairan yang berwarna hitam kebiru-biruan tadi dimasukkan, lalu diaduk hingga larut. Ini disebut “manggaru”. Kedalaman cairan inilah benang dicelupkan..................................................................................................................
Sebelum dicelupkan, benang terlebih dahulu dililit dengan benang lain pada bahagian-bahagian tertentu menurut warna yang diingini, setelah itu proses pencelupan dimulai secara berulang-ulang. Proses ini memakan waktu yang sangat lama bahkan berbulan-bulan dan ada kalahnya ada yang sampai bertahun.
Setelah warna yang diharapkan tercapai, benang tadi kemudian disepuh dengan air lumpur yang dicampur dengan air abu, lalu dimasak hingga mendidih sampai benang tadi kelihatan mengkilat. Ini disebut “mar-sigira”. Biasanya dilakukan pada waktu pagi ditepi kali atau dipinggiran sungai/danau.
Bilamana warna yang diharapkan sudah cukup matang, lilitan benang kemudian dibuka untuk “diunggas” agar benang menjadi kuat. Benang direndam kedalam periuk yang berisi nasi hingga meresap keseluruh benang. Selesai diunggas, benang dikeringkan. Benang yang sudah kering digulung (dihulhul) setiap jenis warna. Setelah benang sudah lengkap dalam gulungan setiap jenis warna yang dibutuhkan pekerjaan selanjutnya adalah “mangani”. Benang yang sudah selesai diani inilah yang kemudian masuk proses penenunan.
Bila kita memperhatikan ulos Batak secara teliti, akan kelihatan bahwa cara pembuatannya yang tergolong primitif bernilai seni yang sangat tinggi.
Seperti telah diutarakan diatas, ulos Batak mempunyai bahan baku yang sama. Yang membedakan adalah poses pembuatannya mempunyai tingkatan tertentu. Misalnya bagi anak dara, yang sedang belajar bertenun hanya diperkenankan membuat ulos “parompa” ini disebut “mallage” (ulos yang dipakai untuk menggendong anak).
Tingkatan ini diukur dari jumlah lidi yang dipakai untuk memberi warna motif yang diinginkan. Tingkatan yang tinggi ialah bila dia telah mampu mempergunakan tujuh buah lidi atau disebut “marsipitu lili”. Yang bersangkutan telah dianggap cukup mampu bertenun segala jenis ulos Batak.

Jenis Ulos

1. Ulos Jugia.
Ulos ini disebut juga “ulos naso ra pipot atau “pinunsaan”. Biasanya ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak disebut ulos “homitan” yang disimpan di “hombung” atau “parmonang-monangan” (berupa Iemari pada jaman dulu kala). Menurut kepercayaan orang Batak, ulos ini tidak diperbolehkan dipakai sembarangan kecuali orang yang sudah “saur matua” atau kata lain “naung gabe” (orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan perempuan).
Selama masih ada anaknya yang belum kawin atau belum mempunyai keturuan walaupun telah mempunyai cucu dari sebahagian anaknya, orang tua tersebut belum bisa disebut atau digolongkan dengan tingkalan saur matua. Hanya orang yang disebut “nagabe” sajalah yang berhak memakai ulos tersebut. Jadi ukuran hagabeon dalam adat suku Batak bukanlah ditinjau dari kedudukan pangkat maupun kekayaan.
Tingginya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos merupakan benda langka hingga banyak orang yang tidak mengenalnya. Ulos sering menjadi barang warisan orang tua kepada anaknya dan nialainya sama dengan “sitoppi” (emas yang dipakai oleh istri raja pada waktu pesta) yang ukurannya sama dengan ukuran padi yang disepakati dan tentu jumlah besar.

2. Ulos Ragi Hidup.
Ulos ini setingkat dibawah Ulos Jugia. Banyak orang beranggapan ulos ini adalah yang paling tinggi nilanya, mengingat ulos ini memasyarakat pemakainya dalam upacara adat Batak. Ulos ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara suka cita. Dan juga dapat dipakai oleh Raja-raja maupun oleh masyarakat pertengahan. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk “mangupa tondi” (mengukuhkan semangat) seorang anak yang baru lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah). Ini yang membedakannya dengan suhut yang lain, yang dalam versi “Dalihan Na Tolu” disebut dongan tubu.

Dalam system kekeluargaan orang Batak. Kelompok satu marga ( dongan tubu) adalah kelompok “sisada raga-raga sisada somba” terhadap kelompok marga lain. Ada pepatah yang mengatakan “martanda do suhul, marbona sakkalan, marnata do suhut, marnampuna do ugasan”, yang dapat diartikan walaupun pesta itu untuk kepentingan bersama, hak yang punya hajat (suhut sihabolonan) tetap diakui sebagai pengambil kata putus (putusan terakhir). Dengan memakai ulos ini akan jelas kelihatan siapa sebenarnya tuan rumah.
Pembuatan ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini dapat dikerjakan secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan secara terpisah dengan orang yang berbeda. Kedua sisi ulos kiri dan kanan (ambi) dikerjakan oleh dua orang. Kepala ulos atas bawah (tinorpa) dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian tengah atau badan ulos (tor) dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan lima orang. Kemudian hasil kerja ke lima orang ini disatukan (diihot) menjadi satu kesatuan yang disebut ulos “Ragi Hidup”.
Mengapa harus dikerjakan cara demikian? Mengerjakan ulos ini harus selesai dalam waktu tertentu menurut “hatiha” Batak (kalender Batak). Bila dimulai Artia (hari pertama) selesai di Tula (hari tengah dua puluh).
Bila seorang Tua meninggal dunia, yang memakai ulos ini ialah anak yang sulung sedang yang lainnya memakai ulos “sibolang”. Ulos ini juga sangat baik bila diberikan sebagai ulos “Panggabei” (Ulos Saur Matua) kepada cucu dari anak yang meninggal. Pada saat itu nilai ulos Ragi Hidup sama dengan ulos jugia.
Pada upacara perkawinan, ulos ini biasanya diberikan sebagai ulos “Pansamot” (untuk orang tua pengantin laki-laki) dan ulos ini tidak bisa diberikan kepada pengantin oleh siapa pun. Dan didaerah Simalungun ulos Ragi Hidup tidak boleh dipakai oleh kaum wanita.

3. Ragi Hotang.
Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai ulos “Marjabu”. Dengan pemberian ulos ini dimaksudkan agar ikatan batin seperti rotan (hotang). Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan dari sebelah kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan Iaki-laki, dan ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu disatukan ditengah dada seperti terikat. Pada jaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang dianggap paling kuat dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh ragi (corak) tersebut.

4. Ulos Sadum.
Ulos ini penuh dengan warna warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai untuk suasana suka cita. Di Tapanuli Selatan ulos ini biasanya dipakai sebagai panjangki/parompa (gendongan) bagi keturunan Daulat Baginda atau Mangaraja. Untuk mengundang (marontang) raja raja, ulos ini dipakai sebagai alas sirih diatas piring besar (pinggan godang burangir/harunduk panyurduan). Aturan pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu di Tapanuli Selatan dilarang memakai ulos ini. Begitu indahnya ulos ini sehingga didaerah lain sering dipakai sebagai ulos kenang-kenangan dan bahkan dibuat pula sebagai hiasan dinding. Ulos ini sering pula diberi sebagai kenang kenangan kepada pejabat pejabat yang berkunjung ke daerah.

5. Ulos Runjat.
Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang sebagai ulos “edang-edang” (dipakai pada waktu pergi ke undangan). Ulos ini dapat juga diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat menurut versi (tohonan) Dalihan Natolu diluar hasuhutan bolon, misalnya oleh Tulang (paman), pariban (kakak pengantin perempuan yang sudah kawin), dan pamarai (pakcik pengantin perempuan). Ulos ini juga dapat diberikan pada waktu “mangupa-upa” dalam acara pesta gembira (ulaon silas ni roha).

Kelima jenis ulos ini adalah merupakan ulos homitan (simpanan) yang hanya kelihatan pada waktu tertentu saja. Karena ulos ini jarang dipakai hingga tidak perlu dicuci dan biasanya cukup dijemur di siang hari pada waktu masa bulan purnama (tula).

6. Ulos Sibolang.
Ulos ini dapat dipakai untuk keperluan duka cita atau suka cita. Untuk keperluan duka cita biasanya dipilih dari jenis warna hitamnya menonjol, sedang bila dalam acara suka cita dipilih dari warna yang putihnya menonjol. Dalam acara duka cita ulos ini paling banyak dipergunakan orang. Untuk ulos “saput” atau ulos “tujung” harusnya dari jenis ulos ini dan tidak boleh dari jenis yang lain.
Dalam upacara perkawinan ulos ini biasanya dipakai sebagai “tutup ni ampang” dan juga bisa disandang, akan tetapi dipilih dari jenis yang warnanya putihnya menonjol. Inilah yang disebut “ulos pamontari”. Karena ulos ini dapat dipakai untuk segala peristiwa adat maka ulos ini dinilai paling tinggi dari segi adat batak. Harganya relatif murah sehingga dapat dijangkau orang kebanyakan. Ulos ini tidak lajim dipakai sebagai ulos pangupa atau parompa.

7. Ulos Suri-suri Ganjang.
Biasanya disebut saja ulos Suri-suri, berhubung coraknya berbentuk sisir memanjang. Dahulu ulos ini diperguakan sebagai ampe-ampe/hande-hande. Pada waktu margondang (memukul gendang) ulos ini dipakai hula-hula menyambut pihak anak boru. Ulos ini juga dapat diberikan sebagai “ulos tondi” kepada pengantin. Ulos ini sering juga dipakai kaum wanita sebagai sabe-sabe. Ada keistimewaan ulos ini yaitu karena panjangnya melebihi ulos biasa. Bila dipakai sebagai ampe-ampe bisa mencapai dua kali lilit pada bahu kiri dan kanan sehingga kelihatan sipemakai layaknya memakai dua ulos.

8. Ulos Mangiring.
Ulos ini mempunyai corak yang saling iring-beriring. Ini melambangkan kesuburan dan kesepakatan. Ulos ini sering diberikan orang tua sebagai ulos parompa kepada cucunya. Seiring dengan pemberian ulos itu kelak akan lahir anak, kemudian lahir pula adik-adiknya sebagai temannya seiring dan sejalan. Ulos ini juga dapat dipakai sebagai pakaian sehari-hari dalam bentuk tali-tali (detar) untuk kaum laki-laki. Bagi kaum wanita juga dapat dipakai sebagai saong (tudung). Pada waktu upacara “mampe goar” (pembaptisan anak) ulos ini juga dapat dipakai sebagai bulang-bulang, diberikan pihak hula-hula kepada menantu. Bila mampe goar untuk anak sulung harus ulos jenis “Bintang maratur”.

9. Bintang Maratur.
Ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang yang teratur didalam ulos ini menunjukkan orang yang patuh, rukun seia dan sekata dalam ikatan kekeluargaan. Juga dalam hal “sinadongan” (kekayaan) atau hasangapon (kemuliaan) tidak ada yang timpang, semuanya berada dalam tingkatan yang rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari dapat dipakai sebagai hande-hande (ampe-ampe), juga dapat dipakai sebagai tali-tali atau saong. Sedangkan nilai dan fungsinya sama dengan ulos mangiring dan harganya relatif sama.

10. Sitoluntuho-Bolean.
Ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita. Tidak mempunyai makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang anak yang baru lahir sebagai ulos parompa. Jenis ulos ini dapat dipakai sebagai tambahan, yang dalam istilah adat batak dikatakan sebagai ulos panoropi yang diberikan hula-hula kepada boru yang sudah terhitung keluarga jauh. Disebut Sitoluntuho karena raginya/coraknya berjejer tiga, merupakan “tuho” atau “tugal” yang biasanya dipakai untuk melubang tanah guna menanam benih.

11. Uos Jungkit.
Ulos ini jenis ulos “nanidondang” atau ulos paruda (permata). Purada atau permata merupakan penghias dari ulos tersebut. Dahulu ulos ini dipakai oleh para anak gadis dan keluarga Raja-raja untuk hoba-hoba yang dipakai hingga dada. Juga dipakai pada waktu menerima tamu pembesar atau pada waktu kawin.
Pada waktu dahulu kala, purada atau permata ini dibawa oleh saudagar-saudagar dari India lewat Bandar Barus. Pada pertengahan abad XX ini, permata tersebut tidak ada lagi diperdagangkan. Maka bentuk permata dari ragi ulos tersebut diganti dengan cara “manjungkit” (mengkait) benang ulos tersebut. Ragi yang dibuat hampir mirip dengan kain songket buatan Rejang atau Lebong. Karena proses pembuatannya sangat sulit, menyebabkan ulos ini merupakan barang langka, maka kedudukannya diganti oleh kain songket tersebut. Inilah sebabnya baik didaerah leluhur si Raja Batak pun pada waktu acara perkawinan kain songket ini biasa dipakai para anak gadis/pengantin perempuan sebagai pengganti ulos nanidondang. Disinilah pertanda atau merupakan suatu bukti telah pudarnya nilai ulos bagi orang Batak.

12. Ulos Lobu-Lobu.
Jenis ulos ini biasanya dipesan langsung oleh orang yang memerlukannya, karena ulos ini mempunyai keperluan yang sangat khusus, terutama orang yang sering dirundung kemalangan (kematian anak). Karenanya tidak pernah diperdagangkan atau disimpan diparmonang-monangan, itulah sebabnya orang jarang mengenal ulos ini. Bentuknya seperti kain sarung dan rambunya tidak boleh dipotong. Ulos ini juga disebut ulos “giun hinarharan”. Jaman dahulu para orang tua sering memberikan ulos ini kepada anaknya yang sedang mengandung (hamil tua). Tujuannya agar nantinya anak yang dikandung lahir dengan selamat.

Masih banyak lagi macam-macam corak dan nama-nama ulos antara lain: Ragi Panai, Ragi Hatirangga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi Sampuborna, Ragi Siattar, Ragi Sapot, Ragi si Imput ni Hirik, Ulos Bugis, Ulos Padang Rusa, Ulos Simata, Ulos Happu, Ulos Tukku, Ulos Gipul, Ulos Takkup, dan banyak lagi nama-nama ulos yang belum disebut disini. Menurut orang-orang tua jenis ulos mencapai 57 jenis. Ulos mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam upacara adat batak, karena itu tidak mungkin kita bicarakan adat batak tanpa membicarakan hiou, ois, obit godang atau uis yang kesemuanya adalah merupakan identintas orang Batak.

Penerima Ulos
Menurut tata cara adat batak, setiap orang akan menerima minimum 3 macam ulos sejak lahir hingga akhir hayatnya. Inilah yang disebut ulos “na marsintuhu” (ulos keharusan) sesuai dengan falsafah dalihan na tolu. Pertama diterima sewaktu dia baru lahir disebut ulos “parompa” dahulu dikenal dengan ulos “paralo-alo tondi”. Yang kedua diterima pada waktu dia memasuki ambang kehidupan baru (kawin) yang disebut ulos “marjabu” bagi kedua pengantin (saat ini desebut ulos “hela”). Seterusnya yang ketiga adalah ulos yattg diterima sewaktu dia meninggal. dunia disebut ulos “saput”.

I. Ulos Saat Kelahiran.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama apakah anak yang lahir tersebut anak sulung atau tidak. Dan yang kedua apakah anak tersebut anak sulung dari seorang anak sulung dari satu keluarga. 1. Bila yang lahir tersebut adalah anak sulung dari seorang ayah yang bukan anak sulung maka yang mampe goar disamping sianak, hanyalah orangtuanya saja (mar amani… ). 2. Sedang bila anak tersebut adalah anak sulung dari seorang anak sulung pada satu keluarga maka yang mampe goar disamping sianak, juga ayah dan kakeknya (marama ni… dan ompu ni… ).
Gelar ompu… bila gelar tersebut mempunyai kata sisipan “si”, maka gelar yang diperoleh itu didapat dari anak sulung perempuan (ompung bao).
Bilamana tidak mendapat kata sisipan si… maka gelar ompu yang diterimanya berasal dari anak sulung laki-laki (Ompung Suhut).
Untuk point pertama, maka pihak hula-hula hanya menyediakan dua buah ulos yaitu ulos parompa untuk sianak dan ulos pargomgom mampe goar untuk ayahnya. Untuk sianak sebagai parompa dapat diberikan ulos mangiring dan untuk ayahnya dapat diberikan ulos suri-suri ganjang atau ulos sitoluntuho.....................................................................................................
Untuk point kedua, hula-hula harus menyediakan ulos sebanyak tiga buah, yaitu ulos parompa untuk sianak, ulos pargomgom untuk ayahnya, dan ulos bulang-bulang untuk ompungnya.
Seiring dengan pemberian ulos selalu disampaikan kata-kata yang mengandung harapan agar kiranya nama anak yang ditebalkan dan setelah dianya nanti besar dapat memperoleh berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Disampaikan melalui umpama (pantun). Pihak hula-hula memberikan ulos dari jenis ulos bintang maratur, tetapi bila hanya sekedar memberi ulos parompa boleh saja ulos mangiring.

II. Ulos Saat Perkawinan
Dalam waktu upacara perkawinan, pihak hula-hula harus dapat menyediakan ulos “si tot ni pansa” yaitu; 1. Ulos marjabu (untuk pengantin), 2. Ulos pansamot/pargomgom untuk orang tua pengantin laki-laki, 3. Ulos pamarai diberikan pada saudara yang lebih tua dari pengantin laki-laki atau saudara kandung ayah, 4. Ulos simolohon diberikan kepada iboto (adek/kakak) pengantin laki-laki. Bila belum ada yang menikah maka ulos ini dapat diberikan kepada iboto dari ayahnya. Ulos yang disebut sesuai dengan ketentuan diatas adalah ulos yang harus disediakan oleh pihak hula-hula (orang tua pengantin perempuan).
Adapun ulos tutup ni ampang diterima oleh boru diampuan (sihunti ampang) hanya bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat pihak keluarga perempuan (dialap jual). Bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat keluarga laki-laki (ditaruhon jual) ulos tutup ni ampang tidak diberikan.
Sering kita melihat begitu banyak ulos yang diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat. Dahulu ulos inilah yang disebut “ragi-ragi ni sinamot”. Biasanya yang mendapat ragi ni sinamot (menerima sebahagian dari sinamot) memberi ulos sebagai imbalannya. Dalam umpama (pantun) dalam suku Batak disebut “malo manapol ingkon mananggal”. Pantun ini mengandung pengertian, orang Batak tidak mau terutang adat.
Tetapi dengan adanya istilah rambu pinudun yang dimaksudkan semula untuk mempersingkat waktu, berakibat kaburnya siapa penerima “goli-goli” dari ragi-ragi ni sinamot. Timbul kedudukan yang tidak sepatutnya (margoli-goli) sehingga undangan umum (ale-ale) dengan dalih istilah “ulos holong” memberikan pula ulos kepada pengantin.

Tata cara pemberian.
Sebuah ulos (biasanya ragi hotang) disediakan untuk pengantin oleh hula-hula. Orang tua pengantin perempuan langsung memberikan (manguloshon) kepada kedua pengantin yang disebut “ulos marjabu”. Apabila orang tua pihak perempuan diwakilkan kepada keluarga dekat, maka dia berhak memberikan ulos kepada pengantin, akan tetapi bila orang tua laki-laki yang diwakilkan, maka ulos pansamot harus diterima secara terlipat.
Sedangkan ulos pargomgom (untuk pangamai) dapat diterima menurut tata cara yang biasa, dan pada peristiwa ini harus disediakan ulos sebanyak dua helai (ulos pasamot dan ulos pargomgom). Dalam penyampaian ulos biasanya diiringi dengan berbagai pantun (umpasa) dan berbagai kata-kata yang mengandung berkah (pasu-pasu). Setelah diulosi dilanjutkan penyampaian beras pasu-pasu (boras sipir ni tondi) ditaburkan termasuk kepada umum dengan mengucapkan “h o r a s” tiga kali.
Selanjutnya menyusul pemberian ulos kepada orang tua pengantin laki-laki atau yang mewakilinya dalam hal ini seiring dengan penyampaian umpasa dan kata-kata petuah. Sesudah itu berjalanlah pemberian ulos si tot ni pansa kepada pamarai dan simolohon. Biasanya pemberian ini disampaikan oleh suhut paidua (keluarga/turunan saudara nenek). Setelah ulos lainnya berjalan maka sebagai penutup adalah pemberian ulos dari tulang (paman) pengantin laki-laki.
Tata cara urutan pemberian ulos adalah sebagai berikut:
1.      Mula-mula yang memberikan ulos adalah orang tua pengantin perempuan.
2.      Baru disusul oleh pihak tulang pengantin perempuan termasuk tulang rorobot.
3.      Kemudian disusul pihak dongan sabutuha dari orang tua pengantin perempuan yang disebut paidua (pamarai).
4.      Kemudian disusul oleh oleh pariban yaitu boru dari orang tua pengantin perempuan.
5.      Dan yang terakhir adalah tulang pengantin laki-laki, setelah kepadanya diberikan bahagian dari sinamot yang diterima parboru dari paranak dari jumlah yang disepakati sebanyak 2/3 dari pihak parboru dan 1/3 dari paranak. Bagian ini disampaikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada tulang/paman pengantin laki-laki, inilah yang disebut “tintin marangkup”.

III. Ulos Saat Kematian.
Ulos yang ketiga dan yang terakhir yang diberikan kepada seseorang ialah ulos yang diterima pada waktu dia meninggal dunia. Tingkat (status memurut umur dan turunan) seseorang menentukan jenis ulos yang dapat diterimanya.
Jika seseorang mati muda (mate hadirianna) maka ulos yang diterimanya, ialah ulos yang disebut “parolang-olangan” biasanya dari jenis parompa.
Bila seseorng meninggal sesudah berkeluarga (matipul ulu, marompas tataring) maka kepadanya diberi ulos “saput” dan yang ditinggal (duda, janda) diberikan ulos “tujung”.
Bila yang mati orang tua yang sudah lengkap ditinjau dari segi keturunan dan keadaan (sari/saur matua) maka kepadanya diberikan ulos “Panggabei”.
Ulos “jugia” hanya dapat diberikan kepada orang tua yang keturunannya belum ada yang meninggal (martilaha martua).
Khusus tentang ulos saput dan tujung perlu ditegaskan tentang pemberiannya. Menurut para orang tua, yang memberikan saput ialah pihak “tulang”, sebagai bukti bahwa tulang masih tetap ada hubungannya dengan kemenakan (berenya).
Sedang ulos tujung diberikan hula-hula, dan hal ini penting untuk jangan lagi terulang pemberian yang salah.

Tata cara pemberiannya.
Bila yang meninggal seorang anak (belum berkeluarga) maka tidak ada acara pemberian saput. Bila yang meninggal adalah orang yang sudah berkeluarga, setelah hula-hula mendengar kabar tentang ini, disediakanlah sebuah ulos untuk tujung dan pihak tulang menyediakan ulos saput. Pemberiannya diiringi kata-kata turut berduka cita (marhabot ni roha). Setelah beberapa hari berselang, dilanjutkan dengan acara membuka (mengungkap) tujung yang dilakukan pihak hula-hula. Setelah mayat dikubur, pada saat itu juga ada dilaksanakan mengungkap tujung, tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Hula-hula menyediakan beras dipiring (sipir ni tondi), air bersih untuk cuci muka (aek parsuapan), air putih satu gelas (aek sitio-tio). Pelaksanaan acara mengungkap tujung umumnya dibuat pada waktu pagi (panangkok ni mata ni ari). Setelah pihak hula-hula membuka tujung dari yang balu, dilanjutkan dengan mencuci muka (marsuap). Anak-anak yang ditinggalkan juga ikut dicuci mukanya, kemudian dilanjutkan dengan penaburan beras diatas kepala yang balu dan anak-anaknya.

Memberi ulos panggabei.
Bila seseorang orang tua yang sari/saur matua meninggal dunia, maka seluruh hula-hula akan memberi ulos yang disebut ulos Panggabei. Biasanya ulos ini tidak lagi diberikan kepada yang meninggal akan tetapi kepada seluruh turunannya (anak, pahompu, dan cicit). Biasanya ulos ini jumlahnya sesuai dengan urutan hula-hula mulai dari hula-hula, bona tulang, bona ni ari, dan seluruh hula-hula anaknya dan hula-hula cucu/cicitnya.
Acara kematian untuk orang tua seperti ini biasanya memakan waktu sangat lama, adakalanya mencapai 3-5 hari acaranya. Biaya acaranya cukup besar, karena inilah acara puncak kehidupan orang yang terakhir.

Yang Memberikan Ulos
Di wilayah Toba, Simalungun dan Tanah Karo pada prinsipnya pihak hula-hulalah yang memberikan ulos kepada parboru/boru (dalam perkawinan). Tetapi diwilayah Pakpak / Dairi dan Tapanuli Selatan, pihak borulah yang memberikan ulos kepada kula-kula (kalimbubu) atau mora. Perbedaan spesifik ini bukan berarti mengurangi nilai dan makna ulos dalam upacara adat.
Semua pelaksanaan adat batak dititik beratkan sesuai dengan “dalihan na tolu” (tungku/dapur terdiri dari tiga batu) yang pengertiannya dalam adat batak ialah dongan tubu, boru, hula-hula harus saling membantu dan saling hormat menghormati.
Di wilayah Toba yang berhak memberikan ulos ialah :
1.      Pihak hula-hula (tulang, mertua, bona tulang, bona ni ari, dan tulang rorobot).
2.      Pihak dongan tubu (ayah, saudara ayah, kakek, saudara penganten laki-laki yang lebih tinggi dalam kedudukan kekeluargaan).
3.      Pihak pariban (dalam urutan tinggi pada kekeluargaan).
Ale-ale (teman kerabat) yang sering kita lihat turut memberikan ulos, sebenarnya adalah diluar tohonan Dalihan na tolu (pemberian ale-ale tidak ditentukan harus ulos, ada kalanya diberikan dalam bentuk kado dan lain-lain).
Dari urutan diatas jelaslah bahwa yang berhak memberikan ulos adalah mereka yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dalam urutan kekeluargaan dari si penerima ulos.

(Penulis adalah Wartawan, dan Ketua Nahdatul Ulama dan Sekretaris Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Toba Samosir, tinggal di Balige. Aktif sebagai pengrajin tenun Ulos. Artikel ini ditulis Februari 2005)

http://tanobatak.wordpress.com/2008/02/18/mengenal-olos-batak/