Sejarawan dari Universitas Negeri Medan (Unimed), Ichwan Azhari, mengatakan, istilah Batak sebagai sebutan terhadap etnis Batak ternyata tidak berasal dari orang Batak sendiri. Istilah itu diciptakan atau dikonstruksi oleh para musafir barat dan kemudian dikukuhkan oleh misionaris Jerman yang datang ke tanah Batak pada 1860-an. Hal itu dikatakan Ichwan berdasarkan penelitian yang dilakukannya sekitar dua bulan pada pada arsip misionaris di Wuppertal, Jerman. Penelitian atas biaya dinas pertukaran akademis Pemerintah Jerman.
Dalam sumber-sumber lisan dan tertulis, terutama di dalam pustaha (tulisan tangan asli Batak), lanjut dia, tidak ditemukan kata Batak untuk menyebut diri sebagai orang atau etnik Batak.
"Jadi dengan demikian nama Batak tidak asli berasal dari dalam kebudayaan Batak, melainkan sesuatu yang diciptakan dan diberikan dari luar oleh para musafir barat yang kemudian diperkuat oleh para misionaris Jerman," katanya, di Medan, Minggu (14/11).
Menurut Ichwan, selain meneliti arsip misionaris Jerman, ia juga melengkapi datanya ke arsip KITLV di Belanda, mewawancari sejumlah pakar ahli Batak di Belanda dan Jerman, seperti Johan Angerler dan Lothar Schreiner.
Dari data yang diteliti tersebut diketahui bahwa sebutan Batak awalnya diambil para musafir yang menjelajah ke Sumatera dari para penduduk pesisir untuk menyebut kelompok etnik yang berada di pegunungan dengan nama "bata".
Tapi nama yang diberikan penduduk pesisir itu berkonotasi negatif, bahkan cenderung menghina untuk menyebut penduduk pegunungan itu sebagai kurang beradab, liar, dan tinggal di hutan.
Pada sumber-sumber manuskrip Melayu klasik yang ia telusuri, seperti manuskrip abad 17 koleksi Leiden juga ditemukan kata Batak di kalangan orang Melayu di Malaysia, sebagai label untuk penduduk yang tinggal di rimba pedalaman semenanjung Malaka.
Dalam manuskrip itu, saat Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), Puteri Gunung Ledang yang sangat dihina dan direndahkan oleh teks itu, melarikan diri ke hulu sungai dan dalam teks disebut "masuk ke dalam hutan rimba yang amat besar hampir dengan negeri Batak, maka diambil oleh segala menteri Batak itu, dirajakannya Puteri Gunung Ledang itu dalam negeri Batak itu".
Tidak hanya di Malaysia, di Filipina juga penduduk pesisir menyebut penduduk pedalaman dengan streotip atau label negatif sebagai Batak.
Untuk itu, lanjut dia, cukup beralasan dan tidak mengherankan kalau peneliti Batak terkenal asal Belanda bernama Van der Tuuk pernah risau dan mengingatkan para misionaris Jerman agar tidak menggunakan nama Batak untuk nama etnik karena imej negatif yang terkandung pada kata itu.
"Dari hasil penelitian itu, saya berkesimpulan bahwa kata Batak baik sebagai sebuah pernyataan dan ekspresi identitas, sebagai nama suku dalam konsep antropologi ataupun sebagai nama kawasan kultural dan geografis akan terus mengalami perubahan makna dan interpretasi, baik di kalangan akademisi maupun di kalangan mereka yang disebut atau menyebut diri sebagai Batak," katanya.
Dalam sumber-sumber lisan dan tertulis, terutama di dalam pustaha (tulisan tangan asli Batak), lanjut dia, tidak ditemukan kata Batak untuk menyebut diri sebagai orang atau etnik Batak.
"Jadi dengan demikian nama Batak tidak asli berasal dari dalam kebudayaan Batak, melainkan sesuatu yang diciptakan dan diberikan dari luar oleh para musafir barat yang kemudian diperkuat oleh para misionaris Jerman," katanya, di Medan, Minggu (14/11).
Menurut Ichwan, selain meneliti arsip misionaris Jerman, ia juga melengkapi datanya ke arsip KITLV di Belanda, mewawancari sejumlah pakar ahli Batak di Belanda dan Jerman, seperti Johan Angerler dan Lothar Schreiner.
Dari data yang diteliti tersebut diketahui bahwa sebutan Batak awalnya diambil para musafir yang menjelajah ke Sumatera dari para penduduk pesisir untuk menyebut kelompok etnik yang berada di pegunungan dengan nama "bata".
Tapi nama yang diberikan penduduk pesisir itu berkonotasi negatif, bahkan cenderung menghina untuk menyebut penduduk pegunungan itu sebagai kurang beradab, liar, dan tinggal di hutan.
Pada sumber-sumber manuskrip Melayu klasik yang ia telusuri, seperti manuskrip abad 17 koleksi Leiden juga ditemukan kata Batak di kalangan orang Melayu di Malaysia, sebagai label untuk penduduk yang tinggal di rimba pedalaman semenanjung Malaka.
Dalam manuskrip itu, saat Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), Puteri Gunung Ledang yang sangat dihina dan direndahkan oleh teks itu, melarikan diri ke hulu sungai dan dalam teks disebut "masuk ke dalam hutan rimba yang amat besar hampir dengan negeri Batak, maka diambil oleh segala menteri Batak itu, dirajakannya Puteri Gunung Ledang itu dalam negeri Batak itu".
Tidak hanya di Malaysia, di Filipina juga penduduk pesisir menyebut penduduk pedalaman dengan streotip atau label negatif sebagai Batak.
Untuk itu, lanjut dia, cukup beralasan dan tidak mengherankan kalau peneliti Batak terkenal asal Belanda bernama Van der Tuuk pernah risau dan mengingatkan para misionaris Jerman agar tidak menggunakan nama Batak untuk nama etnik karena imej negatif yang terkandung pada kata itu.
"Dari hasil penelitian itu, saya berkesimpulan bahwa kata Batak baik sebagai sebuah pernyataan dan ekspresi identitas, sebagai nama suku dalam konsep antropologi ataupun sebagai nama kawasan kultural dan geografis akan terus mengalami perubahan makna dan interpretasi, baik di kalangan akademisi maupun di kalangan mereka yang disebut atau menyebut diri sebagai Batak," katanya.
No comments:
Post a Comment