Monday, March 4, 2013

Marga: Keluarga dan Kekerabatan dalam Pengetahuan Orang Batak Toba, Sumatera Utara

(sumber: http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2598/marga-keluarga-dan-kekerabatan-dalam-pengetahuan-orang-batak-toba-sumatera-utara)
Marga adalah istilah orang Batak Toba untuk menyebut leluhur induk dari silsilah keluarga dan kekerabatan mereka. Sebagai sebuah tradisi, marga telah menjadi identitas dan status sosial orang Batak Toba yang masih bertahan hingga kini.

1. Asal-usul

Suku Batak adalah salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia. Suku ini banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara, khususnya daerah di sekitar Danau Toba. Pada masa lampau, wilayah ini disebut sebagai Tano Batak, yang berarti daerah yang mengelilingi Danau Toba. Konon, sebenarnya Tano Batak itu meluas hingga sampai ke wilayah Aceh Selatan dan Aceh Tenggara. Hal ini terbukti dari adanya sebagian kalangan yang mengkategorikan orang Nias dan orang Aceh Gayo sebagai orang Batak. Tano Batak menjadi lebih kecil setelah pemerintah Belanda dengan sengaja memecah belah wilayah tersebut demi strategi penjajahan mereka (J.C. Vergouwen, 1986).
Suku Batak memiliki sub-sub suku yang terikat kuat antara satu dengan lainnya. Ada beberapa pendapat tentang jumlah sub-sub suku ini. Ada yang menyebut bahwa ada lima sub, yaitu sub suku Toba, Mandailing, Karo, Simalungun, dan Pakpak. Namun, ada juga yang menyebut sebelas, yaitu kelima sub tersebut ditambah dengan Pasisir, Angkola, Padang Lawas, Melayu,[1] Nias, dan Alas Gayo (Gens G Malau, 2000).
Suku Batak diikat oleh kelompok kekerabatan yang mereka sebut sebagai marga. Adapun kegiatan menelusuri silsilah garis keturunan marga disebut dengan istilah tarombo. Salah satu sub suku Batak yang masih menjaga tradisi marga dan tarombo hingga kini adalah Batak Toba. Suku ini tersebar di empat wilayah Tapanuli, Sumatera Utara, yaitu Toba, Silindung, Samosir, dan Humbang. Marga Batak Toba adalah marga pada Suku Batak Toba yang berasal dari daerah di Sumatera Utara, terutama yang tinggal di Kabupaten Tobasa yang wilayahnya meliputi Balige, Porsea, Laguboti, dan sekitarnya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 2005, halaman 716, mengartikan marga sebagai kelompok kekerabatan yang eksogam dan unlinear, baik secara matrilineal (perempuan) maupun patrilineal (laki-laki). Adapun masyarakat umum Batak mengartikan marga sebagai kelompok suku dan suku induk. Menurut Vergouwen (1986), jika melihat realitas yang terjadi di masyarakat Batak Toba sekarang, arti ini terlihat tidak sesuai dengan realitasnya karena bagi orang Batak Toba, marga juga dimaksudkan untuk menunjukkan satuan suku-suku yang lebih kecil dan kelompok yang lebih besar. Hal ini juga disebabkan oleh alur pokok dari struktur silsilah (tarombo) Batak Toba yang beragam.
Orang Batak Toba hingga kini masih meyakini bahwa marga dan tarombo penting untuk dicari dan diperjelas karena seluruh orang Batak meyakini bahwa mereka adalah Dongan-Sabutuha. Dongan-Sabutuha berarti “mereka yang berasal dari rahim yang sama” (Vergouwen, 1986: 1). Hal ini diperkuat juga dengan peribahasa Batak yang berbunyi Tinitip sanggar bahen huru-huruan/Djolo sinungkun marga asa binoto partuturan. Arti peribahasa ini adalah “untuk membuat sangkar burung, orang harus memotong gelagah. Untuk tahu hubungan kekerabatannya orang harus menanyakan marga”.
Keyakinan bahwa orang Batak Toba berasal dari rahim yang sama ini (satu marga dan tarombo) disebabkan oleh penetapan struktur garis keturunan mereka yang menganut garis keturunan laki-laki (matrilineal) yang brarti bahwa garis marga dan tarombo orang Batak Toba dteruskan oleh anak laki-laki. Jika orang Batak Toba tidak memiliki anak laki-laki, maka marga dan tarombo-nya akan punah. Adapun posisi anak perempuan atau perempuan Batak Toba adalah sebagai pencipta hubungan besan karena perempuan harus kawin dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain.

2. Konsep Marga

Orang Batak menganut falsafah kekeluargaan dan kekerabatan yang disebut dengan Tungku nan Tiga (tungku tiga kaki). Dalam bahasa Batak Toba, falsafah ini disebut Dalihan na Tolu (tungku posisi duduk). Falsafah ini mengajarkan kepada orang Batak Toba bahwa sejak lahir hingga meninggal kelak, orang Batak Toba harus jelas struktur hubungan kekeluargaan dan kekerabatannya. Falsafah Dalihan Na Tolu berisi tiga kedudukan penting orang Batak Toba dalam kekerabatan, yaitu Hula-hula atau Tondong, Dongan Tubu atau Sanina, dan Boru
  • Hula-hula atau Tondong adalah kelompok yang menempati posisi paling atas, yaitu posisi yang harus dihormati oleh seluruh orang Batak Toba. Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah pihak keluarga dari istri yang disebut sebagai Somba Marhula-hula.
  • Dongan Tubu adalah kelompok yang posisinya sejajar, misalnya teman dan saudara satu marga. Kelompok ini adalah kelompok yang rentan terhadap perpecahan. Untuk itu, budaya Batak Toba mengenal konsep Manat Mardongan Tubu, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.
  • Boru adalah kelompok yang menempati posisi bawah, artinya kelompok ini harus selalu dikasihi (Elek Morboru). Adapun yang termasuk kelompok ini adalah saudara perempuan dari marga suami dan dari pihak ayah.
Dalihan Na Tolu tidak mirip dengan konsep kasta dalam agama Hindu. Perbedaannya terdapat pada ketetapan setiap posisi dalam sistem ini. Posisi msasing-masing kasta dalam sistem kasta Hindu tidak dapat berubah. Sebagai contoh, jika seseorang lahir dalam posisi kasta Brahmana, maka demikian posisi seterusnya hingga dia meninggal kelak. Kasta Brahmana tersebut tidak dapat berubah menjadi Sudra misalnya. Sementara itu, posisi Dalihan Na tolu sangat bergantung pada konteksnya (berubah-ubah). Semua anggota masyarakat Batak Toba suatu ketika pasti akan mengalami menjadi Hulahula, Dongan Tubu, atau Boru. Sebagai contoh, salah satu anggota keluarga dari istri seorang bupati bisa jadi hanya menjabat sebagai camat, namun dalam sebuah upacara adat, si bupati tersebut harus mau mencuci piring untuk melayani keluarga istrinya karena keluarga istri masuk dalam kelompok atas (Hula-hula) dan si bupati masuk dalam posisi bawah (boru).
Semua orang Batak harus berperilaku seakan-akan sebagai “raja” berdasarkan falsafah kekerabatan di atas. Artinya, dalam struktur tata kekerabatan Batak Toba, orang harus berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak, bukan raja sebagai orang yang berkuasa. Maka dari itu, dalam setiap pembicaraan adat, sering terdengar sebutan Raja ni Hulahula, Raja ni Dongan Tubu, atau Raja ni Boru. Selain itu, penyebutan ini dimaksudkan untuk menghormati setiap posisi dalam Dalihan Na Tolu (semua orang Batak Toba dianggap sederajat).
Orang Batak Toba menggunakan dua model pengklasifikasian dalam menentukan marga seseorang, yaitu berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan wilayah permukiman (teritorial).

a. Berdasarkan keturunan (genealogis)

Orang Batak Toba meyakini bahwa bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan ini didasarkan pada silsilah (Tamboro) yang berujung pada Si Raja Batak. Berdasarkan keyakinan ini, maka semua orang Batak diyakini pasti memiliki marga.
Hal tersebut didasarkan pada sebuah kisah yang masih dipercayai hingga kini oleh Orang Batak Toba. Menurut kisah tersebut, Si Raja Batak adalah anak dari seorang perempuan yang bernama Si Borudeakparudjar. Si Borudeakparudjar sendiri adalah seorang keturunan dewata yang bernama Debata Muladjadi Nabolon. Suatu ketika, Debata Muladjadi Nabolon memerintahkan Si Borudeakparudjar untuk menciptakan bumi. Setelah menjalankan perintah dewata tersebut, kemudian Si Borudeakparudjar pergi dan tinggal di daerah yang bernama Siandjurmulamula. Konon, daerah ini terletak di lereng gunung Pusuk Buhit. Dalam perkembangannya, kelak daerah inilah yang akan menjadi tempat tinggal Si Raja Batak. Daerah ini juga diyakini sebagai tempat seluruh orang Batak berasal.
Si Raja Batak mempunyai dua orang putra, yaitu Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon. Dua orang putra inilah yang nantinya akan menurunkan seluruh orang Batak hingga sekarang ini. Orang Batak yang berasal dari keturunan Guru Tatea Bulan dikenal dengan sebutan Belahan (cabang) Lontung. Adapun orang Batak yang berasal dari keturunan Si Raja Isumbaon dikenal dengan sebutan Belahan Sumba.

1. Belahan Lontung

Belahan Lontung adalah sebutan untuk orang Batak keturunan dari Guru Tatea Bulan. Guru Tatea Bulan mempunyai lima orang putra, yaitu Raja Biakbiak, Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja, dan Malau Raja.  Dalam perkembangannya, Raja Biakbiak konon pergi ke Aceh dan tidak diketahui lagi apakah dia meninggalkan keturunan atau tidak. Sementara itu, Saribu Raja mempunyai tiga orang putra, yaitu Si Raja Lontung, Borbor, dan Babiat. Babiat konon pergi Karo dan tidak diketahui lagi sejarah dan keturunannya.
Limbong Mulana pada mualnya mendiami lembah di sebelah selatan punggung gunung yang menghubungkan dengan Pusuk Buhit dengan Tanah Datar. Sementara itu, Sagala Raja mendiami lembah yang di sebelah utara punggung gunung. Adapun Malau Raja tinggal di kawasan Pangruruan dengan memakai nama Damanik, yang memerintah wilayah swapraja Siantar di Sumatera Timur.
Si Raja Lontung mempunyai tujuh orang putra, yaitu Toga Sinaga, Toga Situmorang (Pande, Lumban Nahor, Suhut ni Huta, Siringgo-ringgo, Rumapea, Sitohang), Toga Pandiangan ( Pandiangan, Samosir, Gultom, Harianja, Pakpahan, Sitinjak), Toga Nainggolan, Toga Simatupang, Toga Siregar, dan Toga Aritonang. Toga Nainggolan sendiri mempunyai dua orang putra, yaitu Toga sibatu (Sibatuara, Parhusip) dan Toga Sihombar (Lbn. Nahor, Lbn. Tungkup, Lbn. Raja, Lbn. Siantar, Hutabalian). Adapun Si Raja Borbor menurunkan marga Pasaribu, Harahap, Parapat, Matondang, Sipahutar, Tarihoran, Saruksuk, Lubis, Batubara, Pulungan, Hutasuhut, Daulay).
Anak Guru Tatea Bulan kedua, yaitu Limbong Mulana memiliki dua putra, yaitu Palu Onggang dan Langgat Limbong. Anak keempat Guru Tatea Bulan, yaitu  Sagala Raja, menurunkan marga Hutaruar, Hutabagas, dan Hutaurat. Adapun anak keempat Guru Tatea Bulan, yaitu Malau Raja menurunkan marga Pase, Nilambean, Manik&Damanik, Ambarita, dan Gurning.

2. Belahan Sumba

Belahan Sumba adalah sebutan untuk orang Batak Toba keturunan dari Si Raja Isumbaon. Raja Isumbaon hanya mempunyai seorang putra, yaitu Tuan Sorimangaraja. Konon Tuan Sorimangaraja mempunyai tiga orang istri, yaitu Nai Ambaton, Nai Rasaon, dan Nai Suanon. Dari ketiga istri inilah nanti yang akan menurunkan puak-puak Belahan Sumba. Puak-puak ini tinggal tersebar di wilayah Sumatera Utara.
Nai Ambaton menurunkan marga induk Simbolon, Munte dan Saragi. Simbolon menurunkan dua marga, yaitu pertama Simbolon tua yang terdiri dari Simbolon, Tinambunan, Tumanggor, Turutan, Pinayungan, dan Mahanahampun. Kedua Tamba Tua yang terdiri dari Tamba, Sidabutar, Sidabalok, Siadari, Sijabat. Munte atau Munte Tua  menurunkan marga Munte, Sitanggang, dan Sigalingging. Sementara itu, Saragi atau Saragi Tua menurunkan marga Saing, Simalango, Simarmata, Nadeak, Sidabungke, Rumahorbo, Sitio, dan Napitu. Keturunan puak Nai Ambaton ini sekarang banyak ditemukan di pantai timur Sumatera. Sebaliknya puak ini jarang ditemukan di bagian selatan danau Toba.
Nai Rasaon melahirkan seorang putra bernama Raja Mangareak dan menurunkan marga Manurung, Sitorus, Sirait, dan Butar-butar. Anak keturunan puak Nai Rasaon ini saat ini banyak tinggal di daerah Uluan. Mereka tinggal dalam kelompok di kampung-kampung kecil.
Sementara itu, dari Nai Suanon lahir seorang anak bernama Tuan Sorbanibanua. Tuan Sorbanibanua mempunyai dua istri, yaitu Pasaribu dan Sibasopaet. Dari istri pertama lahir empat anak laki-laki (tidak dihitung yang sudah meninggal). Empat anaknya inilah yang nantinya menurunkan kelompok-kelompok Sibagotni Pohan, Sipaettua, Silahisabungan, dan Raja Oloan. Puak ini banyak tinggal di hampir seluruh bagian tengah danau Toba.
Sibagotni Pohan mempunyai empat putra, yaitu Tuan Sihubil (Tampubolon), Tuan Dibangarna (Panjaitan, Silitonga, Siagian, Sianipar), Tuan Somanimbil (Siahaan, Simanjuntak, Hutagaol), dan Sonak Malela (Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, Pardede).
Dari istri kedua lahir tiga anak laki-laki, yaitu Si Raja Sobu (Sitompul, Hasibuan, Hutabarat, Panggabean, Simorangkir, Hutagalung, Hutapea atau Tobing), Si Saja Sumba, dan Si Raja Naispospos.
Si Raja Sumba sendiri mempunyai dua putra, yaitu Sihombing (Silaban, Lumban Toruan, Nababan, Hutasoit) dan Simamora (Purba, Manalu, Debataraja, Tuan Sumerhan). Sementara itu, Si Raja Naipospos menurunkan marga Marbun, Sibagariang, Simanungkalit, Hutauruk, dan Situmeang.

b. Berdasarkan wilayah pemukiman (teritorial)

Kekerabatan orang Batak Toba yang ditentukan berdasarkan wilayah pemukiman terlihat dari terbentuknya kesepakatan terhadap tradisi adat-istiadat yang ada di setiap wilayah. Sebagai contoh, orang Batak yang bermukim di wilayah Mandailing, mereka akan membentuk suatu tradisi adat-istiadat yang memiliki corak sendiri dibandingkan dengan adat-istiadat suku Batak yang bermukim di Toba. Hal ini dapat terjadi meskipun orang Batak yang bermukim di Mandailing dan Toba banyak memiliki marga yang sama, seperti marga Siregar, Lubis, Hasibuan, dan Batubara.
Kekerabatan berdasarkan wilayah pemukiman ini memiliki daya rekat yang sama kuat dengan kekerabatan yang berdasarkan keturunan. Hal ini tergambar dalam peribahasa Batak Toba yang berbunyi:
Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul (Semua orang mengakui bahwa hubungan garis keturunan adalah sudah pasti dekat, tetapi dalam sistem kekerabatan Batak lebih dekat lagi hubungan karena bermukim di satu wilayah)
Berdasarkan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), maka tempat tinggal suku Batak Toba terbagai dalam 4 (empat) wilayah besar. Keempat wilayah tersebut adalah sebagai berikut.
  1. Wilayah Samosir, yaitu Pulau Samosir dan sekitarnya. Adapun marga yang hidup di wilayah ini antara lain marga Simbolon dan Sagala.
  2. Wilayah Toba, yaitu daerah Balige, Laguboti, Porsea, Parsoburan, Sigumpar, dan sekitarnya. Adapun marga yang tinggal di daerah ini antara lain marga Sitorus dan Marpaung.
  3. Wilayah Humbang, yaitu daerah Dolok Sanggul, Lintongnihuta, Siborongborong, dan sekitarnya. Adapun marga yang tinggal di daerah ini antara lain marga Simatupang Siburian, dan Sihombing Lumban Toruan.
  4. Wilayah Silindung, yaitu daerah Sipoholon, Tarutung, Pahae, dan sekitarnya. Adapun marga yang hidup di daerah  ini antara lain marga Naipospos (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun) dan Huta Barat.

3. Pengaruh Sosial

Penetapan ikatan kekeluargaan dan kekerabatan berdasarkan marga memiliki pengaruh sosial yang beragam bagi kehidupan orang Batak Toba. Hal ini menandakan bahwa marga sebagai sebuah tradisi menjadi salah satu unsur yang penting dalam kehidupan orang Batak Toba. Pengaruh sosial konsep marga terwujud dalam beberapa hal, antara lain:
  • Pengaruh terhadap identitas sosial orang Batak Toba. Setiap bayi orang Batak Toba yang lahir akan secara otomatis langsung menyandang marga ayahnya. Jika bayi tersebut laki-laki, maka dia menyandang marga ayahnya dan akan menjadi penerus generasi selanjutnya. Apabila yang lahir bayi perempuan, ia juga akan menyandang marga ayahnya meskipun marga itu tidak lagi berkelanjutan karena suku Batak Toba tidak menganut sistem garis keibuan (matrilineal). Dalam konteks ini, marga berfungsi sebagai identitas sosial orang Batak Toba. Tanpa marga yang jelas, maka tentu saja identitas sosial seorang bayi yang baru lahir di Batak Toba tidak diketahui. Ketidakjelasan marga ini nantinya juga akan berpengaruh terhadap identitas kewarganegaraan seseorang setelah dewasa karena akan sulit tercatat dalam data penduduk.
  • Pengaruh terhadap status sosial. Dalam hubungan sosial, marga menjadi ukuran seseorang dalam bersikap terhadap orang lain. Hubungan antar-marga pada masing-masing suku Batak berbeda jenisnya. Pada Suku Batak Toba, hubungan marga ini dapat dilihat dari asal muasal marga tersebut pada garis keturunan Si Raja Batak. Semakin dekat marga tersebut dengan Si Raja Batak, maka semakin dituakanlah marga tersebut, dan orang akan semakin menghormatinya. Falsafah Dalihan Na Tolu memang memperlihatkan bahwa orang Batak Toba tampak sangat demokratis, akan tetapi tetap saja mereka mempunyai konsep tersendiri sehubungan dengan pengambilan sikap terhadap orang lain yang mempunyai silsilah yang lebih dekat dengan Si Raja Batak. Dalam konteks ini, marga tetap menjadi salah satu ukuran status sosial di masyarakat Batak Toba.
  • Pengaruh terhadap hukum adat perkawinan Batak Toba. Dalam hukum perkawinan adat Batak Toba telah ditetapkan bahwa jika laki-laki dan perempuan memiliki marga sejenis dan saling mencintai (tidak harus sama) maka keduanya tidak diperbolehkan menikah. Jika melanggar ketetapan ini, maka si pelanggar akan mendapatkan sanksi adat. Hal ini ditujukan untuk menghormati marga seseorang dan agar keturunan marga tersebut dapat berkembang. Dalam konteks ini, marga memiliki kedudukan yang cukup tinggi dalam hukum adat Batak Toba.
  • Pengaruh terhadap sistem sosial. Dalam lingkungan sosial Batak Toba, posisi yang diajarkan dalam falsafah Dalihan Na Tolu dapat disandang oleh siapa saja. Sebagai contoh, seorang Batak Toba pada saat tertentu berada dalam posisi boru, akan tetapi di lain waktu posisinya bisa berubah menjadi hula-hula atau dongan tubu. Hal itu sangat bergantung pada konteks adat dan keseharian. Ketika seorang Batak Toba yang masuk dalam kelompok boru (bawah) menikah dengan marga lain, maka status sosial yang disandangnya menurut sistem Dalihan Na Tolu adalah tetap sebagai boru. Adapun marga suaminya menjadi hula-hula. Dalam konteks ini, marga ikut berpengaruh terhadap sistem sosial, yaitu dalam hal kedudukan seseorang pada kekerabatan dan sosial orang Batak Toba. Secara etika, marga juga mengajarkan kepada masyarakat Batak Toba untuk tidak menyombongkan keturunannya karena dalam waktu tertentu status mereka dapat berubah.
  • Pengaruh terhadap meluasnya relasi sosial orang Batak umumnya dan Batak Toba khususnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia sekarang ini orang Batak menempati profesi khusus yang cukup terkenal, yaitu profesi sebagai pengacara. Keidentikan profesi pengacara dengan orang Batak ini tentu saja tidak lepas dari relasi sosial yang mereka bangun atas nama marga mereka dan sesama orang Batak. Dalam konteks ini, marga tampaknya menjadi alat ampuh yang digunakan oleh orang Batak dalam menegaskan dominasi mereka sebagai pengacara. Marga dalam hal ini juga berfungsi sebagai media untuk mempererat rasa persaudaraan antarsesama orang Batak di perantauan.
  • Pengaruh terhadap pergantian marga. Marga adalah ciri khas dan identitas orang Batak Toba. Sebagai sebuah identitas, tidak memakai marga dianggap sebagai sebuah pelanggaran adat dan sosial. Dalam kondisi ini, marga terkadang menjadi beban bagi perempuan Batak Toba yang tidak menginginkan anaknya menyandang marga ayahnya yang telah meninggal (atau mungkin sang ibu sudah tidak suka dengan suaminya). Sebagai contoh, ada seorang ibu Batak Toba yang melahirkan bayi perempuan. Karena suaminya bermarga A, tentu otomatis sang bayi itu menyandang marga ayahnya yang A. Tatkala umur sang bayi masih 4 hari, sang ayah meninggal dunia. Menjelang usia si bayi menapak tahun ke-3, sang ibu menikah lagi dengan lelaki dari marga lain, katakanlah marga B. Sejak saat itu, otomatis si bayi marga A tersebut dibesarkan dalam keluarga yang dipimpin marga B. Ternyata, dalam penulisan ijazah si anak tidak ada tercantum penggunaan marga aslinya (A), melainkan hanya dicantumkan namanya saja. Terlepas dari niat ibunya, dalam konteks ini, marga di satu sisi dianggap membelenggu orangtua yang tidak menginginkan anaknya untuk memakai marga ayahnya yang telah meninggal.

4. Penutup

Ketika banyak tradisi dan adat istiadat suku bangsa di Indonesia mulai tergerus oleh budaya modern (bahkan ada yang punah tanpa bekas), marga sebagai salah satu tradisi suku Batak Toba masih bertahan hingga kini. Dalam konteks ini, kebiasaan orang Batak Toba untuk meletakkan marga di belakang namanya perlu diapresiasi dan didukung. Hal ini dikarenakan identitas suku Batak Toba tetap terjaga dengan adanya marga.

(Yusuf Efendi/bdy/21/03-10)

Referensi

No comments:

Post a Comment